Minggu, 27 Oktober 2013

Ikhlas (?)

Orang gelisah itu karena nda ikhlas.
Menahan sesuatu yang bukan menjadi haknya. Pertama, orang lain tidak tahu sama sekali apa yang kita pikirkan. Tentunya, orang lain tak boleh disalahkan karena (menurut kita) sudah menyebabkan kegelisahan kita. Kedua, kita sendiri pun menjadi kacau. Pikiran selalu terganggu, perasaan pun (serasa) terus merasa terganjal-tidak-nyaman.

Keduanya sama-sama tidak tepat. Sama-sama dholim.
Sampaikan saja hal-hal yang perlu untuk disampaikan. "Sampaikan saja" bukan berarti meluapkan semua hal. Lanjutkan hingga selesai, "hal-hal yang perlu untuk disampaikan.".
Sampaikan maksud kita dengan baik dan terbuka. Tidak juga "terbuka" diartikan, semisal, diluapkan melalui status-status di media sosial. Lebih tepat, pada orang yang bersangkutan. 'minimize' fitnah, 'reduce' gelisah.

"Wah, mau mengungkapkan tapi nda sanggup?! Takut! Malu!".
"Ya sudah, ikhlaskan." Biarkan lintasan di pikiran itu mengalir keluar, jangan dibiarkan tersumbat dan menggenang karena bisa jadi sumber penyakit. Gelisahnya itu kan karena kita menuruti ketidakpastian di pikiran kita, "iya, nda ya? Jangan-jangan 'iya'. Tapi kalau ternyata 'nda'." dan kita menuruti keadaan itu dengan membiarkannya begitu saja.
"Teori doang. "ikhlas,,,ikhlas,,,ikhlas,,.!""
Ya sudah,,nikmati saja kegelisahanmu.

Yang saya tau, saya sebagai muslim diajarkan untuk tidak mengikuti ketidakpastian (laa royba) karena yagn meragukan utk menjadikan kita condong pada prasangka. Menurut saya, prasangka itu salah satu bibit kegelisahan.



*nyomot status saudara sebagai pengingat, JB*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar