Jumat, 30 Agustus 2013

-no subtitle-


Entah, sejak kapan aku mulai menyukai menulis. Aku sama sekali tak ingat, kapan aku mulai menikmati jari-jemari menari di atas keyboard laptop ku. Seharian, semalaman, menikmati untaian kata yang muncul begitu saja dalam pikiran dan juga hatiku. Menghabiskan waktu membuka akun blog dan merangkai kata-kata menjadi perpaduan kalimat yang terkadang aku sendiri heran. Heran, mengapa aku bisa menulisnya ? Kadang aku tertawa, tertawa geli menertawakan tulisan sendiri. Kadang aku tersenyum, tersenyum menikmati untaian kata yang terkadang mengingatkanku pada suatu hal ketika aku membacanya. Kadang pula aku menangis, menangis karena aku mampu mengambil hikmah dari setiap apa yang kutulis.

Entah, sejak kapan aku mulai menikmati menulis. Aku merasa menjadi diriku sendiri. Aku seolah tengah bercermin. Setiap kalimat yang aku tulis, ya, itulah aku. Aku merasa bahagia ketika aku menjadi diri sendiri melalui tulisan-tulisanku. Tulisan-tulisan itu memang membuatku bercermin, dan mengatakan “ini adalah kamu. Inilah pikiranmu. Inilah hatimu.” Lalu apa ? Ya, aku menjadi diriku sendiri. Aku mampu mencurahkan semua yang menjadi perasaan dalam hati, aku mampu mencurahkan semua yang menjadi kegelisahan dalam pikir. Ketika aku menyadari bahwa tulisan ini mewakili hati, mungkin kemudian akan terlihat melankolis, puitis, dan dramatis. Aahh, memang terkadang hati sulit dikendalikan karena ia penuh dengan emosi. Namun ketika aku menyadari bahwa aku pun menulis dengan logis, itu lah pikiranku. Mereka saling melengkapi, walau kadang bertentangan. Ya, mereka saling melengkapi.

Entah, mungkin aku menulis sesuka hati dan pikiranku. Hanya saja menulis adalah salah satu caraku mencerna kehidupan ini.

Sadarkah, terkadang jari jemari kita dengan lunglai menari di atas keyboard atau pena karena mengikuti arus perasaan kita ? perasaan yang terkadang rumit untuk kita jelaskan sendiri. Ketika kita mulai menulisnya, maka saat itu pula kita merencanakan untuk memahaminya. Di hari selanjutnya kemudian kita kembali membacanya, perlahan berusaha memaknainya, kemudian kita tersadar bahwa kita akhirnya memahami perasaan yang kita mengira ia begitu rumit. Ya, menulis seolah menjadi museum. Yang ketika kita menulisnya di masa lalu karena mengikuti arus perasaan kita, di masa depan kita teringat bahwa kita pernah merasakan diri kita seperti yang dijelaskan oleh tulisan-tulisan itu. Ya itulah dirimu.

Sadarkah, terkadang jari jemari kita dengan lunglai menari di atas keyboard atau pena karena mengikuti arus pikir kita ? pikiran yang terkadang sulit untuk kita jelaskan sendiri. Ketika mulai menulisnya maka saat itu pula kita merencanakan untuk menjelaskannya. Di hari selanjutnya kemudian kita kembali membacanya, peralahan berusaha memaknainya, kemudian kita tersadar bahwa kita akhirnya mampu menjelaskan pikiran kita sendiri. Ya, menulis seolah menjadi cermin. Yang ketika kita menulisnya di sana pula kita mampu menjelaskan diri kita sendiri. Seperti cermin yang ketika bercermin di hadapan kaca bening kita mampu melihat, ya itu diri kita.

Betapa banyak hikmah yang kemudian bisa kita ambil untuk sekedar memaknai kehidupan. Hati dan pikiran bekerjasama untuk melakukan hal itu. Melengkapi satu sama lain agar kita tak terjerumus hanya karena mengikuti arus emosi perasaan kita, agar kita tak terjerumus hanya karena mengikuti arus pikiran kita yang telah banyak terkontaminasi pikiran dunia. Dan dengan menulis kita menyatu padukan keduanya. Membuatnya menjadi lebih bermakna. Membuatnya menjadi rujukan bagi kita, rujukan atas diri kita sendiri.

Akhir-akhir ini aku merasa menjadi pendiam. Merasa ini bukan aku. Yang penuh dengan ekspresi dan kehebohan. Ahhh tapi menjadi pendiam itu juga ekspresi. Tapi tetap saja, itu bukan aku. Yang ketika bertemu banyak hal dengan penuh ekspresi aku menjelaskannya. Dan saat aku menulis di tengah kediamanku, ada sesuatu yang tersadari bahwa aku memang tak mudah untuk menjelaskan suatu emosi yang dirasakan serta kegelisahan yang dipikirkan melalui kata. Bahkan ketika menulis bisa membuat tangis tersedu-sedu, tapi ketika mencoba menyampaikannya dengan rangkaian kata jarang aku mengambil tisyu dan mengusap tangis di hadapan orang yang mencoba mendengarku.

Itulah ajaibnya ketika aku menikmati menulis. Dia mampu mengeluarkan apa yang ada dalam diriku. Dia mampu mengeluarkan siapa sesungguhnya aku. Dia seolah memiliki kekuatan super yang mendesakku untuk selalu bersikap jujur. Jujur atas diri sendiri. Jujur kepada diri sendiri.

Entah, sejak kapan aku menyukai menulis. Kekuatan-kekuatan tersembunyi di dalamnya, yang kemudian aku menikmatinya. Diri yang melankolis, diri yang penuh pertentangan, diri yang tengah lemah, diri yang tengah ceria, diri yang tengah bersemangat, diri yang menyimpan banyak kenangan, diri yang memiliki kegelisahan pikiran, diri yang mencoba kritis, diri yang berusaha bangkit, aku menikmatinya. Menulis seolah menjadi salah satu sarana untuk mengadu banyak hal padaNYA. Aku berbagi denganNYA namun aku juga menuliskannya, karena aku yakin suatu saat aku membutuhkannya untuk mengingatkanku. Tulisan-tulisan ini kemudian akan merekam semuanya, semua tentang perjalanan pikirku ……… dan perjalanan rasaku.

~Menulis membuatku mengalir begitu saja, menumpahkan segala asa dan rasa atas logika dan nuraniku untuk menjadi seseorang yang jujur~


Aahh… aku terlalu melankolis akhir-akhir ini :-p