Jumat, 27 Desember 2013

Outing SD Rejowinangun :) *belum selesai*








Outing "Ukhuwah" Pengajian An-Nisaa' ( JAN Training Corporation )

Laguna Pantai Glagah, Lokasi Outing yang kece banget pemandangannya, adeemmm ^_^


Jeprettt dulu ! :D -JAN Training-


Kerja sambil jalan-jalan sambil menikmati kebesaran Allah ya kayak gini iniii :p


Ini diaa ibu-ibu super kece nan sholihah yang semangat sekali untuk kita ajak outing bersama :D 


Kita stretching dulu biar panaaasss semangaattt ibu ibuuuu ALLAHU AKBAR *sambil kepal tangan ke atas langit !!! :D 


Deeuuyyy udah mulai ngos-ngosan ya buuuu :D Alhamdulillah ototnya udah renggang.


Nah !! Kita main "Sekoci-Sekoci" yaa... saya minta sekoci berdasarkan jumlah anak !! *gruduukk.. gruduukk.. ibu-ibu heboh cari temen :D "


Saatnya memahami Bahasa Tarzan ! U.. uu.. uu.. ukk *sambil gerakin bahasa isyarat*


Yuk pijet-pijetan dulu biar rileks... "Pijat hujan gerimiss...! Hujan Deras...! Hujan Badai.... ! Petiiirrrr !!



Duhhh Romantis nyaaa :3 , main Balon Romantis dengan kaki salah satu menopang di atas kaki
pasangannya :) saling menanggung beban sodaranya ya buuu :)


Tertawa bersama ibu-ibu An-Nisaa' :) 


Alhamdulillah.... membersamai ibu-ibu itu tidak beda jauh asyiknya dengan membersamai anak-anak SD-SMA ^_^ semua ada nikmatnya masing-masing. tapi yang selalu aku rasakan setiap kali membersamai ibu-ibu itu adalah keceriaannya yang melebih anak-anak. Bagaimana tidak se-ceria itu ?? wong setiap hari sibuknya ngurusin anak-suami yang mereka cintai sepenuh hati, perlu juga sekali-sekali melakukan aktivitas-aktivitas seperti ini agar lebih semangat melayani keluarga dan bergaul dengan baik dengan tetangga tanpa melupakan nilai-nilai yang perlu mereka pahami yaitu "Ukhuwah". Mengenal, Memahami, dan Tolong-Menolong serta Saling Menanggung Beban. :)


Kamis, 26 Desember 2013

Diskusi Pendidikan #1

Bismillah.

Aku mau share hasil diskusi pendidikan yang rutin kami (JANTraining) adakan setiap kamis bersama Ustad Fauzil Adhim, Ustad Bagus, Ustad Fatan Fantastik dan Mas Denis Dinamiz. Sembari menikmati berbagai jenis kopi suguhan dan koleksi Ustad Fauzil diskusi semakin nikmat. Hehehe 

Kopi Robusta Toraja, tingkat keasaman lebih rendah dibanding kopi di bawahnya :)

Kopi Arabica Toraja+Kintamani, tingkat keasamannya lebih tinggi dan warna lebih hitam :)



Nah, prolog yang membuat tercengang mengenai kurikulum pendidikan Indonesia tahun ini (2013) disampaikan oleh Ustad Fauzil. Jeddeeerr !! Ternyata, dibalik pembuatan kurikulum pendidikan tahun 2013  ada campur tangan dan konstruksi pikir oleh salah satu ideolog JIL sekaligus pendiri JIL. Beliau juga diamanahi untuk terlibat dalam membuat kurikulum pelajaran Sastra mengingat beliau juga sosok budayawan. He is Gunawan Mohamad. Yes, dalam buku “Kurikulum 2013 : Tanya Jawab dan Opini” beliau menyampaikan kekecewaannya terhadap kurikulum pendidikan tahun ini yang ternyata tidak begitu sesuai dengan harapannya. Bahwa kurikulum tersebut terlalu berlebihan dalam mengikutsertakan nilai-nilai keagamaan. 




Well, yang ingin aku tekankan di sini adalah “Mengapa orang dengan alur pikir seperti beliau dilibatkan dalam pembuatan kurikulum pendidikan Indonesia ?”. Jelas itu akan mempengaruhi bentuk atau konstruksi pikir kurikulum pendidikan di tahun berikutnya bukan ? Dan akan lebih menjelaskan lagi bahwa itu kemudian akan merusak tatanan nilai agama yang ingin disampaikan kepada generasi berikutnya. Mau dibawa kemana pendidikan Indonesia kemudian jika bahkan nilai agama berusaha dihapuskan dari kurikulum Indonesia. Wooaahhh, yang kemudian saya tangkap adalah “Ya, inilah bentuk Scientologi di abad ini yang berusaha memperjuangkan “illah” nya dalam dunia pendidikan. Lebih banyak menyembah akal dan ilmu pengetahuan dibanding “Yang Maha Memiliki dan Memberi Akal serta Pengetahuan.” Siapa DIA ? Ya, jelas Allah SWT. Bahaya nih bahaya ! Dan memang fenomena seperti ini sudah tidak jarang kita temui dalam berbagai bidang kehidupan kita. Berbagai macam bentuk ideologi sudah menjadi fitrah hawa nafsunya untuk dapat mengendalikan segala proses kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah pentingnya kita untuk berhati-hati dalam menerima segala bentuk informasi dan pengetahuan, semua itu perlu filternya, yaitu Al Quran dan Sunnah.
Gunawan Mohamad juga menyampaikan bahwa sesungguhnya besar harapannya Indonesia mampu melahirkan seorang “Stephen Hawking”. 


Akan menjadi kekacauan pendidikan jika kemudian impian-impian perkembangan dan keberhasilan pendidikan Indonesia akan berdasar pada tokoh ini, menjadi tolak ukur lahirnya generasi yang berkualitas. Tak heran jika kemudian moral anak-anak Indonesia justru semakin buruk, wong di kurikulumnya sendiri saja dikonstruksi dengan alur pikir yang seperti itu. Mengesampingkan nilai-nilai ke-Tuhan-an dibandingkan akal dan ilmu pengetahuan. Sementara moral itu dasarnya ada pada pendidikan agama yang didalamnya termuat akan rasa penghambaan terhadap “Sang Pemilik Segala”, Yang Maha Mengontrol setiap tindak tanduk kita selama di dunia. Maka jelas bahayanya jika kurikulum yang melibatkan konstruksi pikir Gunawan Mohamad ini akan merusak aqidah dan akhlak generasi penerus Indonesia. Waspadalah bagi yang ingin menjadi guru, perhatikan pula hal-hal yang seperti ini. Pak Mentri, tolong pikirkan dan pertimbangkan kembali siapa-siapa saja yang penting, perlu, dan BAIK untuk dilibatkan dalam proses pembuatan kurikulum. #Pray4KurikulumPendidikan2014.

Semoga Manfaat !


Senin, 23 Desember 2013

Jogja Never Die !


            Alkisah, sang ulama besar dari madinah pernah memberi pesan luar biasa atas konsistensinya. Ialah Imam Malik, dengan keteguhannya bertahan di negeri Madinah demi seungkap asa dan cita yang tengah ia perjuangkan. Penuh keyakinan dan keteguhan sebagai bentuk konsistensinya mencapai titik kejayaan atas apa yang tengah ia bangun. Yaitu, mengikrarkan diri untuk tidak keluar dari Madinah kecuali Haji. Berusaha kembali membangun madinah dengan usaha yang besar, hingga kini masih terasa Madinah menjadi salah satu rujukan bagi peradaban keilmuan dunia. Konsistensinya untuk menetap di Madinah memberi pesan bahwa dimanapun kaki ini menapak, maka apa-apa yang ingin kita bangun di tempat itu, upayakanlah dengan usaha yang besar dan konsisten. Jadikanlah tempat itu sebagai titik pusat perjuangan kita, sumber dari segala pengaruh yang akan tersebar di masa depan, sumber potensi yang mampu menguatkan dinamika perjalanannya.

            Dan menyematkan Jogjakarta sebagai replika Madinah ketika Imam Malik memperjuangkan konsistensinya adalah bentuk upaya yang meluap dalam benak saat ini. Menyematkannya dengan kerja-kerja besar dan sungguh-sungguh sehingga mampu menjadikannya sebuah titik pusat peradaban yang mampu memberikan pengaruh besar. Lewat karya, upaya, dan cita. Dan ini bentuk rasa seolah kaki sulit meninggalkan Jogja sebagai titik karya dan upaya dipusatkan. Bukan, bukan berarti kemudian membatasi diri untuk tidak samasekali melihat dunia luar, bagaimanapun dunia luar juga akan memberikan pemahaman yang berbeda untuk mengembangkan cakrawala dan alur pikir dalam rangka “bersikap cerdas”. Dan mengaisnya diluar itu perlu. Ini masalah titik pusat. Maka konsistensi dan keteguhanlah yang diuji. Dan itu lah sekelumit prolog prototype yang ingin dibangun di sini, di Jogjakarta. Seperti Imam Malik yang teguh dan konsisten menetap di Madinah untuk menjadikan Madinah salah satu pusat peradaban.

            Sebagai orang Jogja asli memang tak bisa dipungkiri nyamannya kondisi yang kadang melenakan. Tapi jangan salah, justru di situ tantangannya. Selalu memutar otak agar diri merasa tertantang dan penuh gairah melakukan kerja-kerja besar, itu perjuangannya. Di Jogja, aku sematkan cita dan upaya untuk keberhasilan sebuah karya. Itu keteguhan yang dengan segenap upaya dibangun “saat ini”, meski tak tahu apa yang akan terjadi esok, bagaimanapun sebagai “seorang wanita” ada ketidakberdayaan untuk menentang hahaha (no more explained :p ). Tapi aku menemukan dua hal berbeda di sini, saat ini. Ya, dua rumah yang mungkin kelak akan menjadi pusat karyaku akan berkembang dan berpengaruh, juga sebagai latar Jogja sebagai pusat karyaku bersama orang-orang disekelilingku berkembang. Membangun replika Madinah yang masih bertahan hingga saat ini.

            Satu, rumah yang kelak akan menjadi wadah mengembangkan dan menuntun untuk mencapai mimpi yang selama ini terbangun. Satu yang lain, rumah yang kelak akan menjadi wadah pengabdian atas ilmu yang selama ini telah aku timba dengan berbagai upaya. Menjadikannya manfaat dan ma’rifat. Keduanya ada di sini, Jogjakarta. Maka segala upaya pun akan diusahakan untuk tak beranjak dari sini dan menjadikannya kelak sebagai titik pusat pengaruh. Dari dua rumah itu harapan kemudian mampu menjadi motor penggerak pengaruh itu tersebar hingga ke pelosok dunia bahkan sekuat tenaga menggemparkan seluruh penduduk langit. Kuncinya hanya satu, kerja-kerja itu adalah bentuk penghambaan diri terhadap Rabb-nya. Maka, aku sematkan Jogjakarta sebagai pusat upaya berjibaku bersama dinamikanya, sebagai pusat pengaruh karya berkembang bersama cinta, sebagai replika Madinah yang menjadi salah satu pusat peradaban keilmuannya dan sebagai pusat pengabdian pada Rabb semesta alam. Semoga Allah teguhkan, kuatkan, dan istiqomahkan. Dari Jogja untuk Indonesia.


            Terinspirasi oleh peristiwa dua hari ini, rekan-rekan JAN Training Corporation yang mabit di rumah sembari sharing Life Plan 2014 dan agenda rutin untuk saling menguatkan. Tambah hari ini berkumpul dengan rekan-rekan baru Government Laboratory Yogyakarta yang diselipi kajian pra-nikah yang sebagian besar orang-orangnya cuma terbukti teori tok ! praktek manaa ??? Haahaha, gara-garanya personil yang satu udah tinggal menghitung hari untuk menggenapkan separuh dien-nya, yang lain sok-sokan ngasih wejangan hahaha. Tapi ini jadi momen pula bagaimana kedepan kami merangkai asa dan cita bersama. J Dari Jogja untuk Indonesia !!! 

Selasa, 17 Desember 2013

Ayam Betina

“Ada hal yang kadang tak perlu kita jelaskan. Ada pula perasaan yang tak perlu kita ungkapkan. Mengeramkannya dalam diam, seperti seekor ayam betina kepada telurnya, mungkin itulah cara yang  baik. Agar kemudian ia menetas dengan sempurna dan di saat yang tepat. Agar kemudian anaknya tahu kemana ia akan kembali mencari induknya.”


15-12-13 23.10

Minggu, 17 November 2013

Sajak Ikhlas

Dua kata yang tak terpisahkan,
Saling berkesinambungan,
Saling menggerakkan,
Membangun ruh dan jiwa para pejuang,
Menggapai kejayaan islam,
Meruntuhkan keburukan dan keegoisan,
Menghancurkan segala kesombongan,
Karna hanya Dia sumber kemuliaan,

Ialah Niat dan Keikhlasan.

Jumat, 15 November 2013

Sikap !



Ia seonggok hasrat untuk memahami
Ia sebaris pagar untuk menjaga diri
Ia sekokoh benteng untuk melindungi
Dan ia seberkas harap untuk bersuci

Terkadang ia seperti belati,
Menusuk rusuk menembus rongga paru
Terkadang ia seperti goresan duri,
Menyayat kulit ari merobek urat sendu

Bagaimanapun sakitnya,
Semata itu adalah pertahanannya
Bagaimanapun perihnya,
Begitulah ia menikam hatinya

Hanya kemuliaanNya menjadi pengharapan
Hanya sebongkah cintaNya menjadi tujuan
Maka dengan ketegasan ia berkata,

“Maaf cukup sampai batas pagar, jangan lebih dari itu”
“Mengapa?” tanya sang hati
“Aku takut kepada Sang Pemilik. Maka, cukup diam atau pergi saja.”
“Bukankah kau pula yang menghadirkanku ? mengharap kenikmatan dari keberadaanku ?”
“Aku takut kepada Sang Pemilik. Maka, cukup diam atau pergi saja.”

Dan bertahan di balik pagar adalah sikapnya
Bersembunyi di balik pelukan Rabb adalah sikapnya
Memilih menghimpit rasa adalah sikapnya
Berusaha keras menikam hati adalah sikapnya

Karena itu pilihan,
Karena itu keikhlasan,
Karena itu keistiqomahan,
Yang melahirkan kemuliaan.

Maka biarkan rasa itu tertikam atau pergi saja,
Jika kemudian kemaksiatan yang ada,
Maka biarkan rasa itu tertikam atau pergi saja,
Jika kelalaian menjauhkan pada Rabb nya.

Karena,
Rasa adalah kepastian,
Dan,
Sikap adalah pilihan.



Sabtu, 09 November 2013

Ingat, Ada Allah Di Hatimu !

Nemu di buku catatan kuliah jaman semester 4 >_< hoho, nyeni banget lah,
jago emang kalo corat-coret buku kuliah mah :p


            “Innallaha ma’ana”
            Ya, mungkin kita sudah sering mendengar kata-kata ini. Entah itu di apdet-an status kawan se-per-facebook-an, atau twit galau kawan se-jamaah di twitland, atau di tausyiah-tausyiah ustadz/ustadzah yang tiap pekan kita ikuti kajiannya agar diri cepet move on, misalnya hehe. Tapi percuma kalau kata penyemangat itu hanya diucap dibibir sahaja, tanpa mengikutsertakan hati untuk merasakan kekuatan ampuh dari kata itu. “Allah bersama kita”, itu bukan sekadar kata penyemangat, dia juga kekuatan untuk meyakinkan diri kita ketika kita merasa sepi dan jenuh akan hiruk pikuk duniawi.

            Emm… maaf yaa buat pembaca yang mungkin ini terkesan koyo “curcol” (curhat colongan di sela ngeblog :p ). Entah, akhir-akhir ini rada mellow bawaannya, rada sensitif, terus sok-sok buat sensasi “menghilang” sejenak dari peredaran, bahasa kerennya uzlah haha. Sms orang-orang ngga dibales, kalopun dibales jawabannya sok-sok misterius, haha. Kalau buka facebook atau twitter sekadar melakukan peran sebagai stalker temlen. Kalaupun jari jemari udah gatel pengin apdet status, yaa cuma share atau nge-retweet kata-kata mutiara yang pas banget sama suasana hati, biar yg ngeliat status/retweet penasaran & maksa ke mereka untuk paham kondisi kita melalui kode-kode. Hahaha, norak !

            Tapi pas lagi sendirian, tiba-tiba mellow gajebo (gag jelas booo’), kesepian, hubungi kawan kesana-kemari buat diajak ketemuan, nggak ada yang bisa, kena lo! Terus galau memuncak di ubun-ubun, ngerasa kayak nggak diperhatiin, kayak nggak ada lagi yang peduli, nggak ada yang ngerti dan memahami kalau diri lagi butuh ditemani. Naahh, kemarin yang bilang pengin uzlah siape ? Ya gimana bisa ngerti kalau yang mellow gajebo aja nggak cerita sebab musababnya. Yaa gimana mau ceritaaakkk, orang diajak ketemuan aja pada nggak bisa >_<. Yaudah deh, lo gue end!

            Oke, mungkin bagi sebagian orang yang berada di fase ini tengah menikmati masa-masa transisi nya. Mungkiiiiinn. Misal, mereka-mereka yang transisi dari dunia akademisi menuju dunia praktisi. Hemmm… mellow nya adalah ketika berada di posisi “transisi” itu, belum sampe ke tujuannya (praktisi). Mau ajak teman makan bareng, eh doi udah balik kampung, mau minta temenin kemari, eh doi udah sibuk jadi praktisi, mau ngajak ketemuan sekedar ngobrol, eh doi lagi pas nya nggak bisa, ada agenda duluan. Duh, kesepian lagi. Mellow nya makin menjadi. Iyuuuwwhh…

            Baik… baik… bapak-bapak, ibu-ibu.. selooowww… seloooww nggiiihh. Ada yang kesindir po ? Aku juga lagi ngomong di depan cermin kok :p . Tapi bener kaann.. bener kaan kadang ngerasa begityuuu ?? hayooo ngakuuu… *cari temen*. Nah, terus ketika teman-teman emang lagi nggak bisa nemenin kita, kita mau apa ? ngambek ? bilang, “kamu udah nggak perhatian lagi sama akuuhh.”, nyeletuk “yaudah deh, selamat menikmati kesibukanmu.”, atau yang rada terkesan sok bijak dan sok sabar nge-SMS, “yaudah nggak papa kok kalo emang nggak bisa jangan dipaksain, santai aja.” tapi ngetiknya sambil ngomel-ngomel bete, bibirnya manyun, banting-banting hape *duh,eman*, dalem hatinya mbatin “elo emang nggak perhatian, oke fine!”  Yakaliii mau nuntut doi musti begini dan begitu, nuntut buat selalu paham kondisi kita, paham apa yang kita butuhin, musti selalu stand by kalau kita  langsung pasang alarm minta tolong (?). Yaelaahh daahhh, bocah bener broh!

            Gimanapun, mereka juga manusia yang punya kepentingan masing-masing. Punya hal yang musti diselesaikan masing-masing. Punya keterbatasan untuk bisa menentukan mana yang prioritas, mana yang paling banyak kasih mudharat, mana yang banyak kasih maslahat. Nah, kalau jabanin perasaan-perasaan kita yang penuh kegalauan gajebo, sementara di sana doi punya hal yang berurusan dengan puluhan ummat, masa iya cuma gegara ngeladenin kita, yang paling banyak munculin mudharat doi biarin. “Janganlah selalu meminta untuk dikuatkan, tetapi berusahalah untuk bisa menguatkan.” Baik bagi diri sendiri, orang lain, dan orang-orang sekitar kita.

            Di sisi lain, apakah ketika merasa sepi yang selalu kamu ingat-ingat hanya temanmu ? Aih, kemanakah Allah selama ini (?). Yang sering disebut “Innallah ma’ana” itu kemana ? Cuma numpang lewat dilidah doank ? “Mas.. numpang lewat mass..”. Bukankah dalam setiap kondisi, setiap keadaan semua hal tempat kembali kita, tempat berserah diri kita hanya ke Allah ? Bukankah semua hal dalam hidup ini juga ujungnya hanya ke Allah ? Nah, terus dalam keadaan mellow gajebo seperti ini, baliknya kemana lagi ? Allah bukan ? *jawab sendiri masing-masing yeh* Jangan berpikir berapa kali orang meninggalkan kita, tetapi ingat berapa kali kita meninggalkan Allah tapi Dia tidak pernah meninggalkan kita. Nah, jelas-jelas ada yang lebih setia pada kita, lebih mau mendengarkan aduan hati kita. Masih mau mengejar perhatian manusia ?? Iya, setidaknya dengan berbagi dengan teman adalah bentuk penghargaan bahwa mereka selalu kita anggap “ada” dan “bermakna”. Tapi kembali lagi kan, Allah satu-satunya dan sebaik-baik tempat mengadu. Karena dari Dia juga kan segala solusi akan kita temui (?) dan mellow-mellow gajebo bablaasss tak berbekas.

            Cukup yakin bahwa “Allah selalu bersama kita” itu akan membuat hati justru lebih tenang. Bangun malem, sholat, dzikir, tilawahnya makin rajin, dhuha-nya dikencengin, banyak-banyak inget Allah misal baca-baca artikel atau note-note yang menginspirasi dan menggugah kita akan kebesaran-Nya, itu setidaknya cukup sebagai penawar. Bahkan bisa jadi kegalauan gajebo itu tadi karena kurang deket sama Allah ? Bisa jadiii… Bisa jadiii… *ala eat bulaga*. Itu akan lebih ampuh mengingatkan kita bahwa nggak penting deh mellow-mellow gajebo, ngerasa kesepian, dan bla bla bla. Ada Allah, Ada Allah, Ada Allah.

            Nah, dari rasa kesepian dan ke-mellow-an gajebo ini, mungkin ada beberapa hikmah yang bisa dipetik. Pertama, koreksi hubungan atau kedekatan kita sama Allah. Tau lah yaaa cara ngeceknya gimana. Kedua, mungkin perlu ada metode khusus untuk menjaga dan menjalin tali silaturahim agar lebih erat dan terikat lagi J, mungkin dengan cara “mbribiki” teman-teman kita :p, “lagi dimana cyiin ? udah makan belom, walau sibuk jangan telat makan ya.”, misal. Untuk yang itu “Syarat dan Ketentuan Berlaku” lhoh yaa! Ketiga, ingat dan yakini bahwa Allah akan menerima apapun keadaan kita, maka jangan ragu mengadu hanya pada Dia. Romantis-romantislah dengan Allah ketika hanya “aku dan Kau” bercengkerama dalam guratan malam dan di sela pergantian waktu (sholat) serta selama Allah bersama kita dan akan selalu bersama kita. J

So, buat apalagi mellow (?) *ngomong depan cermin*

Mari tersenyum, pantang manyun :p !

#edisiterbatas haha
#RobithohKencengBuatSaudaraDisana

Minggu, 03 November 2013

:)




Dia hanya masih terus mencoba untuk menjadi berharga seperti mawar biru, berharga dimata Pencipta untuk meraih dan menuai kebaikan yang lebih.

Dia hanya masih terus mencoba memperbaiki diri untuk terlihat menyejukkan seperti mawar biru, dan mampu memberikan kesejukkan untuk peradaban kelak yang lebih mulia.

Dia hanya masih terus meniti kebeningan hati seperti mawar biru ketika dipandang, agar selalu memberi ketenangan bagi siapa yang pantas untuk memandangnya.





Ahh… aku sangat menyukai bunga ini :’) terimakasih sodari-sodariku yang telah memberikannya 2 Oktober lalu ~

Jumat, 01 November 2013

Apresiasi = Kemuliaan ??


            Betapa hari-hari yang kita lalui begitu luar biasa, tanpa kita sadari ia memberikan banyak makna dalam tujuan hidup kita. Seperti hari ini, berkumpul dengan mereka yang hatinya diliputi kecintaan yang luar biasa kepada Rabb nya. Seperti hari ini dimana jiwa-jiwa yang mengharap ridho-Nya berkumpul dalam sebuah majelis kecil yang mencoba membangun asa dan cita menuju syurga. “Jangan remehkan forum kecil,…” kata sang guru, “terkadang kita meremehkan forum-forum kecil padahal bisa jadi dari sana tersembunyi energi dan ilmu luar biasa.” lanjut beliau. Ya, meski hanya dihadiri oleh tim training JAN namun inilah sekolah JAN yang sesungguhnya, yaitu dimana seluruh orang-orang yang tergabung di dalamnya merasakan forum dan aktivitas-aktivitas ini sebagai kebutuhan.

            Hari ini, seperti hari jumat biasanya, kami (tim JAN) selalu mengadakan sekolah JAN untuk berbagai bidang dan hari ini adalah jatah kami para trainer JAN untuk berbagi ilmu. “Bahagia Menjadi Trainer” itulah tema yang kami usung. Awalnya kami disuguhi oleh 4 pertanyaan utama,
1.      Apa yang membuatmu tertarik dengan training ?
2.      Apa yang membuatmu bahagia selama berlangsungnya proses training ?
3.      Apa yang membuatmu senang dengan training ?
4.      Dan apa yang dibutuhkan olehmu untuk memperbaiki proses training ?

Beragam jawaban dengan berbagai ekspresi kami lemparkan dan diskusikan. “saya merasa tertarik ketika pernah suatu ketika diajak teman mengikuti sebuah training dan merasakan ada hal yang berbeda.” , “saya merasa tertarik karna dalam training selalu memberikan motivasi-motivasi.” , “saya merasa bahagia ketika mampu berinteraksi dengan orang-orang baru dan memahami karakter mereka.” , “saya merasa butuh dalam training ketika bisa berkumpul dengan orang-orang yang memiliki mimpi yang sama dan memiliki mentor dibidang yang sama untuk mencapai impian itu.” , “saya merasa bahagia ketika kemudian mendapat apresiasi yang baik dari peserta. Misalnya, mereka berterimakasih karena materi yang disampaikan begitu membekas.” A.P.R.E.S.I.A.S.I (?)

Apresiasi atau katakanlah sebuah penghargaan. Bermacam-macam memang bentuknya. Namun apakah kemudian itu yang menjadi hasil atas kepuasan aktivitas kita ?          Banyak memang fenomena yang memperlihatkan begitu di apresiasinya seorang trainer, seorang ustadz/ustadzah, seorang motivator, seorang penulis buku, seorang yang mengisi majelis-majelis ta’lim kesana kemari, seorang dan seorang lainnya yang mungkin memang memiliki “tempat” di hati para penyanjungnya. Ahh… apresiasi bisa jadi menipu kita. Maka, epilog sang guru pun menutup proses aktivitas hari ini. Dan lagi-lagi hati kami merasa tercabik mendengar dan merenungkannya.

“Di puja-puji oleh orang atau di apresiasi oleh orang itu BUKANLAH KEMULIAAN. Kecuali kita memang tahu dan benar-benar mengamalkan apa yang kita ketahui.” begitu tegas beliau sampaikan dan penuh dengan aksen.

“Maa amilta fii maa alimta,…” tambahnya menekankan. “Apa yang telah engkau amalkan dari apa yang kau ketahui (?)” jelasnya.

Seketika hati terperanjat. “Sia-sia jika seorang trainer atau seorang da’i bangga dengan apa yang dia bicarakan namun tiada ia mengamalkan. Itu munafiq.” . Rasanya darah ini berdesir kencang, seolah air menghujani hati ini begitu deras. Rabb… Astaghfirullah. Seketika suasana majelis itu menjadi hening, seolah semua terperangah dalam diam dan mencoba merenungi dalam diri. Kami dengan seksama mencoba menghayati apa yang menjadi epilog sang guru sepulangnya mengisi suatu forum di luar kota dan beliau sempatkan bertandang menemani kami, yang masih dengan bangga berbagi pengalaman aktivitas kami selama ini. Bangga (?) Ahh… begitu hinanya tanpa kita sadari.

Apalah arti apresiasi ? Jabatan ? Posisi ? Yang selama ini dengan bangga dan senang hati kita rasakan keberadaannya menyelimuti aktivitas-aktivitas ini. Puja-puji orang-orang di sekitar kita, layakkah bersandar dalam diri kita ? Layakkah kita banggakan ? Layakkah menjadi kepuasan ? Layakkah ia menjadi modal kita menuju syurga-Nya ??? TIDAK.

Seorang trainer, seorang da’i dengan seluruh aktivitasnya apakah tak melihat bahwa itulah yang sedikit demi sedikit menggerogoti amalan-amalan hatinya ? Rabb… diri ini masih begitu hina. Ilmu yang selama ini kita dapat hanyalah secuil bekal bagi kita untuk membeli tiket masuk ke syurga-Nya. Bagaimana dengan amalannya ? Bagaimana dengan hatinya ? Dimana kita meletakan IA dalam setiap aktivitas kita ? Dan hari ini, hati begitu tercabik, perih.

“PR utama seorang trainer adalah mentraining dirinya sendiri.” Tambah sang guru, dan teringat lagi dengan tulisan tahun lalu. ( http://annisarachmawati91.blogspot.com/2012/01/be-trainer-tulisan-tanggal-10-november.html )

“Sebelum engkau selesai menyelesaikan urusan orang lain, maka selesaikan dahulu dirimu.” Setidaknya itu lah poin yang dapat diambil. Ketika kita mampu berbicara di depan banyak orang dengan penuh kemantapan, pertanyaannya adalah “apakah engkau juga mengamalkan apa yang kau bicarakan?” Sekali lagi hati tercabik. Lalu pantaskah sebuah apresiasi bersandar dalam dalam diri ? Di elu-elu kan di hadapan banyak orang, disinggung namanya setiap hari, dibanggakan kehadirannya, dan kita dengan senang hati menikmati semua itu. Lalu dimanakah kita meletakkan IA dalam setiap aktivitas-aktivitas kita ? Sementara kita pun belum selesai mengamalkannya dalam keluarga kita. Di saat kita sibuk menghadiri forum-forum yang dihadiri puluhan bahkan ratusan orang, dikala diri serius menyiapkan materi untuk mengisi kajian-kajian, ketika tak henti kita mendatangi kota demi kota untuk menyampaikan setiap apa yang ingin kita sampaikan dihadapan banyak orang, apakah semua itu kita lakukan pula dalam keluarga kita ? Ayah, ibu, kakak, adik, suami, istri, anak ??

“Quu anfusakum wa ahlikum naaro.” pungkas beliau.

Tak terasa air mata membasahi pipi. Merasakan butir-butir air tersedu membasahi ujung kelopak mata. Hati kami menangis, jiwa kami menangis, kami terdiam, dan ini teguran. Bahkan urusan mengantarkan kebaikan kepada keluarga pun masih dipertanyakan. Rabb… kami sadari jalan kami masih jauh, jauuuhhhh sekali untuk mencapainya (syurga). Bahkan hati kami masih seringkali terkotori, terkotori sendiri oleh amalan hati kami. Bahkan keikhlasan semata hanya untuk mengharap ridho-Mu dalam setiap aktivitas kami pun terselimuti oleh sanjungan, pujian, dan berbagai apresiasi duniawi. Lalu bagaimana apresiasi-Mu terhadap kami ? *Air mata semakin tak tertahankan, dan kami masih terdiam dalam refleksi dan renungan* Sementara Rasulullah di masa awalnya mensyiarkan islam, beliau sampaikan kepada mereka yang terdekat, keluarganya, bunda Khadijah. Lalu bagaimana dengan kita. Apakah kita telah selesai dengan diri kita masing-masing ? Apakah kita telah benar-benar mengamalkan apa yang sudah kita ketahui ?

Apresiasi, jabatan, posisi duniawi samasekali takkan bernilai jika kemudian ia melemahkan sikap dan keyakinan penghambaan kita kepada-Nya, semata kepada-Nya. Maka dimanakah letak ikhlas kita ? Sungguh, kita ini masih hina dimata-Nya. Masih sangat kecil dihadapan-Nya. Dibandingkan mata dan hadapan makhluknya, kita masih belum apa-apa. Syurga masih jauh. Syurga yang didalamnya penuh kenikmatan hakiki masih jauh dari rengkuhan tangan kita. Jauuuhhh. Rabb… masih jauh sekali, jauh. Maka apakah apresiasi makhluk-Mu adalah bentuk kemuliaan ? BUKAN. Kemuliaan itu hanya kami dapat dari-Mu. Sungguh diri kami masih jauh dari baik, masih panjang perjalanan kami, masih banyak yang harus kami renovasi. Hati kami, jiwa kami, amalan kami, ilmu kami, jauhh… Jauh sekali.

“Rabb, jauh keikhlasan kami dari kesempurnaan, jauh upaya kamu dari kesungguhan, masih hina diri ini dalam setiap amalan, begitu panjang perjalanan kami untuk merengkuhnya (syurga). Bantu perbaiki kami dalam setiap aktivitas kami, pujian, sanjungan, apresiasi makhluk-Mu bukanlah perantara kami mencapai cinta dan ridho-Mu. Kami hanyalah manusia kecil yang berupaya, dan masih terus berupaya mencapai kecintaan-Mu. Masih berupaya semata hanya karena-Mu. Maka perbaikilah kami, jagalah kami dan keluarga kami untuk menyongsong kemuliaan yang hakiki, yaitu kemuliaan dari-Mu. Bukan kemuliaan makhluk-Mu.”

            Apresiasi, jabatan dan posisi itu tak berarti, jika ia melemahkan sikap dan keyakinan penghambaan kita kepada-Nya.~

Berilmu lah dan beramal lah dengan penuh keikhlasan (semata karena Allah). Lillah, Fillah, Billah.

Waallahu’alam bishowab, sesungguhnya lisan hanyalah perantara untuk menyampaikan, tulisan adalah perantara untuk mengingatkan, sementara kebenaran tetap milik-Nya. Milik-Nya.


*dan ini lah epilog yang luar biasa dari forum KECIL yang luar biasa*

Kamis, 31 Oktober 2013

Hujan dan Kehidupan


Apakah Hujan itu ?
            Ia adalah butiran-butiran kecil air dalam berbagai ukuran yang membentuk awan hujan. Jumlahnya berjuta-juta butir. Butiran yang besar menabrak yang kecil dan bergabung lalu membentuk butiran yang lebih besar. Ketika butiran ini menjadi besar dan berat, maka kemudian mereka akan jatuh ke bumi. Jika suhu berada di atas titik beku, mereka jatuh sebagai titik hujan. Semakin besar butirannya, semakin cepat jatuhnya mereka ke bumi. Dan kita akan mampu merasakan butiran-butiran air itu ketika hujan menimpa kita J.

Hujan dan Kehidupan
            Ketika hujan turun, airnya berkumpul dan dalam perjalanannya sebagian air hujan ini akan meresap ke dalam tanah. Tetumbuhan pun menyerapnya sebagai sumber kehidupannya. Akar dan batangnya terdiri dari kumpulan tabung yang sangat kecil yang dapat menarik air ke dalam dan sepanjang tabung ini. Lalu melalui akar dan batang, air disalurkan ke daun. Dari daun ia menguap ke udara lalu kembali membentuk siklus. Sama seperti tumbuhan, hewan pun membutuhkan hujan dalam kehidupannya. Genangan-genangan air, sumber air, sungai dan danau banyak dicari oleh makhluk.
            Semua makhluk hidup membutuhkan hujan. Tanpanya, semua makhluk hidup akan kekurangan sumber makan dan minum. Sudah menjadi ketetapan-Nya bahwa kita tergantung pada hujan, untuk menumbuhkan tanaman untuk kita makan, untuk menghidupi hewan. Air yang meresap ke tanah pun dapat dimanfaatkan untuk membuat sumur. Maka dari hujanlah kita mampu bertahan. Ia selalu mampu memberikan kemanfaatan-kemanfaatan bagi seluruh penghuni bumi.
            Dan darinya lah kita mampu memahami akan kecintaan Rabb semesta alam kepada seluruh makhluk-makhluk yang ia kasihi. J
            Hujan adalah salah satu cara Allah berbicara padamu tentang rahmat-Nya.~

Setelah Hujan, Akan Hadir Pelangi J
            Ketika hujan mereda, maka setelah itu muncullah pelangi bersama senyum lengkungnya J.~
            Dari manakah pelangi itu berasal ? Biasanya kita mengira bahwa sinar matahari tidak memiliki warna. Banyak para ilmuwan menyebut warna itu sebagai “cahaya putih”. Namun sebenarnya cahaya ini terbuat dari berbagai warna yaitu merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila (indigo), dan ungu yang kemudian biasa kita sebut sebagai Pelangi. Ketika matahari menyinari butiran air hujan, butiran air ini memecahkan cahaya sehingga terbiaslah warna-warna dari butirannya. Warna-warna ini kemudian membentuk setengah lingkaran (busur) yang indah di pelataran langit. Itulah pelangi, yang mempertunjukkan keindahannya setelah air hujan membasahi bumi. J

Bahwa setelah hujan turun akan selalu ada pelangi. J~

Bahwa Allah akan selalu memberikan kebahagiaan setelah tangis kesedihan.~


(sumber : A. Patricia Sechi. "Mengenal Ilmu: Hujan". 2001. Grolier International Inc.)