Sabtu, 19 April 2014

Syukur, Lapangnyaaaaa ^_^v

ilustrasi : nabilahamierah.blogspot.com

Alhamdulillah… Alhamdulillah ‘ala kulli hal..

            Orang yang bersyukur, ketika bangun tidur yang ia rasakan pertama kali adalah karunia dan kenikmatan yang luar biasa dari Allah Yang Maha Pengasih.  Maka tak salah jika kenyataannya doa bangun tidur kata yang terucap pertama kali adalah “Alhamdulillah, (Segala Puji Bagi Allah).” Itulah ungkapan kenikmatan yang bisa kita rasakan setiap pagi, setiap hari, karena kita masih dihidupkan kembali setelah mati menyelami alam tidur. Meski ketika bangun pagi kita harus segera bersiap melakoni segala aktivitas padat seharian, tetapi jika syukur ini benar-benar kita nikmati maka segala yang terlihat padat pun akan terasa lapaaaanngg untuk dijalani. Bukan begitu? Lets try deh.

            Begitu pula yang aku rasakan seminggu terakhir ini. Syukur kali ini terasa berbeda, ada suasana lapang yang begitu merangkul setiap kali mata terbuka dan fikiran menguntai ke jadwal harian yang musti dilakoni. Ya, pada akhirnya kondisi kembali normal. Setelah hampir 4 bulan luntang-luntung tak jelas, hidup seperti kehilangan orientasi, segala bentuk keinginan kesana kemari, dan Allah mulai bukakan pintu untuk kembali mengasah diri dan potensi lewat berbagai aktivitas. Bukan, bukan berarti hampir 4 bulan itu tak ada aktivitas sedikitpun, hanya saja selama itu ke-selo-an lebih sering terjadi dibanding masa sebelumnya. Kondisi seperti itu memang wajar di alami mahasiswa-mahasiswa masa transisi setelah resmi menyandang status sarjana. Beruntungnya ke-selo-an itu tak terbuang sia-sia, banyak forum diskusi dan ajang silaturahim kesana kemari hanya sekedar untuk me-recharge diri. Alhamdulillah. Semoga mahasiswa masa transisi yang lain pun demikian.

            Mungkin, kondisi transisi ini banyak yang menjalaninya dengan perasaan tidak nyaman, tidak biasa, “njegleg”, bahkan parahnya galau berujung depresi karena banyak tekanan di sana sini. Dulu di kampus mungkin memang seringnya jadi “Kura-Kura” kuliah-rapat-kuliah-rapat, atau jadi “Mansyur”, Manusia Syuro, kemana-mana yang dibawa buku agenda isinya catatan semua jadwal rapat difakultas A, fakultas B, taman A, taman B, masjid A, masjid B dan sekawan-kawannya. Atau biasanya jadi EO (event organizer), ngurus acara A, B, C, D dan seterusnya, dan yang dilakoni tiap hari mondar-mandir dari satu kampus ke kampus yang lain dengan mobilitas yang sangat tinggi. Atau jadi inisiator dari gerakan perubahan (#ups nggak maksud kampanye!), kerjanya jalin relasi ke alumni A, B, C, begadang rancang konsep dan menjadi aktor utama untuk mengeksekusi rencana gerakan. Yaa… pada akhirnya aku akui bahwa berbagai hal itu memang sungguh-sungguh terjadi. (dan aku salah satu diantaranya #ppffttt). Well, semua patut disyukuri, karena hasilnya pun akan kita nikmati. Mungkin sekarang, ketika kita terjun di dunia kerja semua hal di atas benar-benar memiliki andil besar dalam proses kita mencoba untuk mengepakkan sayap kita sendiri. Alhamdulillah.

            Masa transisi pun datang ketika toga sudah bertandang di kepala. Dan akhirnya pun kita menyadari bahwa masa transisi ini adalah proses kita untuk lebih adaptif dan optimis di dunia yang jauh lebih berbeda dari masa sebelumnya. Dan kesertaan rasa syukur dalam setiap proses dari setiap masa nya adalah hal yang patut untuk benar-benar dimaknai. Syukur akan menjadikan diri kita lebih lapang untuk menerima segala perbedaan kondisi dua masa yang kita jalani dan rutinitas yang menghampiri. “Syukur”, agar kita mampu menyelami dan memaknai perasaan-perasaan syukur yang diakibatkan dari kondisi lingkungan serta aktivitas keseharian kita, maka ini lah bahasan syukur dari sisi bahasa dan istilah.

            Saya mendapat bahasan syukur dari kawan saya yang memang cukup memiliki pemahaman bahasa arab yang baik. Katanya, dari ilmu yang ia dapat, Syukur adalah mashdar dari kata kerja “syakara-yasykuru-syukran-wa syukuran-wa syukranan.” Dalam Al Qur’an kata syukur dengan berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 64 kali, selain kata syukur ditemukan juga kata syakur. Al Ghazali mengartikan syakur sebagai sifat Allah, bahwa Dia yang memberi balasan banyak terhadap pelaku kebaikan atau ketaatan yang sedikit; Dia menganugerahkan kenikmatan yang tidak terbatas waktunya untuk amalan-amalan yang terhitung dengan hari-hari tertentu yang terbatas. Al Qur’an juga secara tegas menyatakan bahwa manfaat syukur itu kembali pada orang yang bersyukur, sedang Allah sama sekali tidak memperoleh bahkan tidak membutuhkan sedikit pun syukur makhluk-Nya. (QS. An Naml:40)

            Allah menyatakan diri-Nya sebagai Syakirun ‘Alim (QS Al Baqarah:158) dan Syakiran ‘Alima (QS. An Nisa’:147), keduanya berarti “Maha Bersyukur lagi Maha Mengetahui”. Kapasitas makna syakur seorang manusia berbeda dengan sifat yang disandang Allah tersebut. Manusia yang bersyukur kepada manusia/makhluk lain adalah dia yang memuji kebaikan serta membalasnya dengan sesuatu yang lebih baik dari apa yang disyukurinya itu. (Saba:13, Quraish Shihab). Maka, syukur dan kata-kata yang seakar dengannya di dalam Al Qur’an meliputi makna “pujian atas kebaikan”, “ucapan terimakasih” atau “menampakkan nikmat Allah ke permukaan.” Syukur itu sendiri mencakup syukur dengan hati, syukur dengan lidah, dan syukur dengan perbuatan.

            Syukur dengan hati, syukur dengan lidah dan syukur dengan perbuatan adalah cara bagaimana kita menampakkan bahwa kita telah merasakan kenikmatan dari Allah SWT. Akibat dari rasa syukur pun ikut menyertai kita ketika hati pun menyakini, lidah menyampaikan, dan perbuatan membuktikan. Jika kita berada pada masa transisi mahasiswa maka akibat nya adalah hati menjadi kian optimis, fikiran menjadi semakin positif, semakin mudah untuk menerima dan semakin ringan untuk memberi. Begitu pula dengan lidah, tak lagi kelu dan ragu menyampaikan segala hikmah dalam setiap kondisi yang dialami karena rasa syukur telah teryakini oleh hati. Laku dan tindakan pun menjadikan diri tak mudah serakah dan senantiasa peka terhadap kondisi lingkungan sekitar yang akhirnya menjadikan kita memiliki empati. Simpul dari keseluruhan tersebut pada akhirnya berujung pada sikap TOTALITAS. Di mana pun kita beraktivitas, apapun aktivitas kita, seperti apa kondisi lingkungan aktivitas kita yang berbeda kondisinya dengan masa sebelumnya dan sikap kita menanggapi semua hal itu, rasa syukur akan membuat kita menjadi nyaman (karena hati lapang) dan totalitas (karena paham syukur adalah perbuatan).

            Dan pada kenyataanya syukur itu nikmat sekali ketika kita mampu merasakannya, meski kita menghadapi segala kondisi yang jauh berbeda. Syukur, pada akhirnya mengantarkan kita pada keyakinan bahwa “Life will never be the same, a different life than the one we’ve had” (cuplikan lirik Nadiya Fatira-New World), tapi kita dengan lapangnya menerima bahkan menjalaninya penuh totalitas, meski padat, “ajeg”, dan hectic sekalipun.

            Alhamdulillah. Pada akhirnya selesai juga tulisan syukur yang berawal dari gejolak perasaan seminggu terakhir ini. Mungkin ini lah refleksi dari rutinitas yang tengah dijalani saat ini. Semoga yang sedikit dan sederhana ini mampu mengajak yang lain untuk senantiasa bersyukur dan menyelami rasa syukur itu dengan sebaik-baik pemahaman dan sikap.  Karena rasa syukur lah yang menjaga kita untuk tetap melakukan amalan-amalan baik dalam setiap kondisi apapun. Wa’allahu ‘a’lam bishowab.

Syukur adalah sikap menjaga diri untuk tetap dalam kebaikan dan menjauh dari kemaksiatan. Syukur menjadikan apapun sebagai kesempatan untuk melakukan amal yang lebih baik.~

Ustadz Syatori Abdurro’uf.



Referensi :
Majalah "Tarbawi edisi Januari 2013", halamannya lupa nggak di catet -_-" 
Kajian Jelajah Hati, Ustadz Syatori Abdurro'uf
Share ilmu dari sahabat (JZ) tentang "Makna Syukur dalam Bahasa Arab".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar