Sabtu, 01 Juni 2013

Perkara Hati





Cinta.

Sejatinya, perkara cinta bukan sekedar perihal rasa, tapi juga perihal masa depan.
Apakah ia akan kau bawa untuk kesenangan duniawimu saja atau, ia yang akan menghantarmu untuk kebutuhan hakikimu kelak ?
Perkara ini bisa salah kaprah jika kita tak memiliki dan tak mau mengetahui apa yang seharusnya kita pahami dan telah termuat dalam pesan-pesan cinta Rabb semesta alam.
Dalam suatu buku yang pernah saya baca, bahkan seorang ulama Indonesia, Buya Hamka memberikan warisan nasehat untuk kita, kita insan manusia yang diberikan fitrah semestinya.
Kata beliau, “Cinta itu adalah perasaan yang mesti ada tiap-tiap diri manusia, ia laksana setitis embun yang turun dari langit, bersih dan suci, cuma tanahnya lah yang berlainan menerimanya. Jika ia jatuh ke tanah yang tandus maka tumbuhlah oleh karena embun itu kedurjanaan, kedustaan, penipuan, langkah serong dan lain-lain perangai yang tercela. Tetapi kalau ia jatuh ke tanah yang subur, maka di sana akan tumbuh kesucian hati, keikhlasan, setia, budipekerti yang tinggi dan lain-lain perangai yang terpuji.”
Apa maksud nasehat ini ? Bahwa cinta adalah fitrah manusia, hanya saja apakah fitrah itu memiliki penerimaan yang baik atau tidak, dengan pemahaman yang baik atau tidak, dan itu lah perumpaan hati dan akal sebagai tanah yang subur atau tandus.
Tanyakan pada hati dan lihat perangai diri. Apakah ketika merasakan hal ini penerimaan kita telah bijak ? Apakah ketika hati menyeruak pada satu nama kemudian sikap di dasari pemahaman yang baik ? Dan apakah sikap itu semata ditujukan hanya untuk menjaga cintaNYA ?
Cinta diatas segala cinta. Yang memiliki cinta dan yang menciptakan cinta, satu-satunya yang berhak dan memiliki hak tertinggi untuk mendapatkan cinta kita.
Berusaha untuk tidak menjadi tanah yang tandus adalah sebuah langkah yang seharusnya. Karena, sadarkah bahwa apa yang menjadi sikap kita dalam menanggapi cinta kelak akan berdampak pula pada kehidupan kita ? sadarkah bahwa hati dan sikap ketika tak di jaga maka perlahan ridho dan keberkahan dari perasaan cinta itu sendiri akan musnah ? hangus terbakar habis oleh hawa nafsu kita.
Ahhh.. siapa yang mau ? Semua manusia, sejatinya ingin mensucikan rasa cintanya. Menjadikannya sebagai sebuah berlian yang dikemas rapi dalam kotak dan dipersembahkan hanya kepada orang yang berhak yang telah menjadi ketetapanNYA.
Jangan mudah menyatakan cinta jika belum bisa mempertanggunjawabkannya.

Pengharapan.
Sejatinya, harapan adalah doa.
Apakah ia, harapan yang merupakan doa itu kita tujukan kepada sesama manusia ? Bisa apa manusia ketika kita ingin membelah bumi ini, apakah kemudian manusia mampu ? Tidak. Tentu saja tidak. Maka dimanakah sepantasnya kita menaruh harapan itu ?
Jika kemudian kita meminta manusia untuk membelah bumi ini, namun ternyata ia tak bisa melakukannya, lalu apa sikap kita ? Kecewa.
Karena segala yang pasti itu hanya milikNYA. Karena semuanya telah tertulis rapi dalam Mega Lauh Mahfuz NYA. Kita ?
Kita hanya aktor yang senantiasa menikmati dan menanggapi setiap dinamika hidup dalam koridor kecintaanNYA. Yang diminta untuk senantiasa berpikir, bekerja untukNYA, dan menunjukkan wujud cinta padaNYA.
Mungkin ini terlihat sebatas retorika mulut kepada hati, Tapi, pemahaman inilah kekuatannya. Bahwa kekuatan seseorang itu terletak pada kesabarannya. ( bisa lihat QS. Al Anfal 65 )
Sabar, sabar dan ikhlas dengan apapun bentuk ketetapannya. Apapun.
Maka, apakah kini sudah paham dimana seharusnya kita meletakkan harapan itu ?
Bisa jadi ketika kita menyampaikan harapan kita kepada satu nama manusia, ternyata ketika kita berada jauh di luar sana kita menemukan manusia yang lebih baik dari nama itu dan kemantapan itu tertuju padanya, apa yang bisa kau pertanggungjawabkan ?
Manusia, sejatinya tiada kepastian kecuali ketidakpastian itu sendiri. Karena segala kepastian hanya IA yang tahu.
Jangan mudah memberi dan menaruh harap (pada manusia) jika diri belum siap.

Melepas.
Sejatinya, melepas adalah perkara keikhlasan.
Keikhlasan hati untuk diurus olehNYA perihal cinta dan harapan.
Keikhlasan itu bentuk sikap paling bijak setelah kesabaran, dalam keikhlasan terdapat sebuah keyakinan akan keberadaanNYA dalam setiap langkah dan keputusan kita.
Maka, ketika kita telah paham seperti apa tanah yang subur itu… semestinya kita mampu melepas cinta dan harapan dari satu nama yang belum pasti untuk kita. Lepaskanlah…
Ikhlaskan… bahwa semua akan ada masanya. Bahwa hati akan berlabuh pada yang semestinya, yang diberikan Allah untuk menghantarkan kita pada kehidupan yang hakiki. Kenikmatan syurga.
Tugas kita saat ini hanyalah senantiasa memperbaiki diri, koreksi kembali niat dan hati kita, apakah kerja-kerja di dunia ini semata untuk menjaga cintaNYA dan mendapat ridhoNYA ?
Kita menginginkan keberkahan masa depan bukan ? Maka jadilah tanah yang subur itu… J



*saya tidak pernah merasa canggung menulis topik ini. Mungkin orang di luar sana akan berkomentar bahwa ini bentuk kegalauan, tak apa, asal kemudian kegalauan itu memiliki follow up yang meaningful. Agar kita bisa kembali berfikir dan kembali pada jalur yang seharusnya. Maka beruntunglah bagi orang-orang yang mau berfikir dan memahami. J Selamat memperbaiki diri (ngomong sama cermin).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar