Sore ini, bosan
terus-menerus bercengkerama dengan seisi perpustakaan aku melaju menuju sebuah
kawasan untuk menemui “gurunda”ku. Ya, memang hari ini aku ada janji dengannya.
Singkat cerita aku mulai pembicaraan sesuka hati ku begitu saja (seperti biasa,
bercerita seolah asik sendiri dan tak terasa sudah habis beribu-ribu karakter
kata, mungkin). Aku asik berdiskusi tentang berbagai peristiwa akhir-akhir ini.
Gurunda ku yang memang sudah sepatutnya memberi tanggapan ke sana ke mari
sepertinya juga asik dengan apa yang ia bicarakan J.
Sesekali aku mengangguk mengerti, tapi kadang aku juga sering menimpali, hehe.
Ternyata, tanpa disadari waktu tak ingin kalah bicara, “hmm… saa, udah mau
ashar pulang gih. Sadar waktu donk !” Alhasil, aku menggerutu pada waktu dan
bergumam “okee…gue pulang.” Dengan berbekal sekantong nasehat dari gurunda, aku
melaju pulang bersama bebekku.
~Lalalalalala… sore
yang gerimis, hmmm… 3 hari terakhir ini memang sering hujan. Aku sukaa.. aku
sukaa.. aku suka hujan memang, tapi 3 hari ini pula aku sedang tidak bersahabat
dengannya. (backsound : sesekali terbatuk dan menggigil kedinginan). Sampai lah
aku akhirnya di kontrakan tercintaaahh, taruh tas dan beres-beres ini itu
bersiap sholat ashar. Eeehh.. ternyata doi yang baru aja dipikirin kedengeran
juga suaranya J.
Udah adzan cuy… sholat nyok !
Selesai ritual wajib
(sholat maksudnya), tiba-tiba ingat seharian ini belum makan. (seperti ada
mesin waktu yang mengingatkan kemudian, muncul terawang-awang membentuk
imajinasi, gurunda lagi bawa sendok dan berusaha menjejaliku dengan makanan),
hehe iya sebelum pamit pulang tadi memang diingatkan untuk tidak lupa makan.
Baiklaahhh. Pergi ke dapur dan meracik makanan yang sempat ibu bekali untukku
tadi pagi, selamat menjamak makaaaaannnn :p.
Ku buka jendela
kontrakan (yang kebetulan di depannya lapangan yang tengah penuh anak-anak
sedang bermain), aku menikmati jamak’an makanku sembari memperhatikan
bocah-bocah tengil itu bermain “rumah-rumahan” secara LIVE dan gratis hihihi.
Eitss.. ada yang tak tahu “rumah-rumahan” itu mainan apa ??? Hmmm… ketauan
niihhh, MKKBS yahh?? Masa Kecil Kurang Bahagia Sekali. Huuuu… aku aja yang
sudah gede gini masih inget kok mainan apa itu. Itu lhoooo… mainan dimana
anak-anak “sok” berperan sebagai Ibu, Ayah, Anak, Kakak, Adik, bahkan Pembantu
juga ada lhoh, terus dengan tingkah sok dewasa nya seolah-olah sedang mengurusi
urusan rumah tangga. (eetttdaahh… aye aja belum khatam belajar ginian, nih
bocah-bocah udah belagak ngurusin rumah tangga ajee -_-“ )
Nah, sebelum mulai
bermain, mereka bikin MoU dulu nih, bahasa kerennya kesepakatan gitu laahh.
Sambil terus memperhatikan mereka, aku tersenyum dan merasakan roda pikiranku
berputar mengulang roll film masa kecilku dulu. “Getokmen kowe sing dadi ibu e
yoo..” (pura-puranya kamu yang jadi ibu nya yaa, begitu translate bahasa
inggrisnya #plak), “getokmen.. getokmen… kowe dadi anak’e sing isih sekolah,
ngko aku sing methuk kowe sekolah yoo..” kalau saja percakapan yang ditulis ini
bisa dibahasakan secara lisan dengan gaya yang imut pasti ngegemesin deh.
(ayokk coba deh praktekan :p) Sesekali aku tertawa dan dan geli melihat tingkah
bocah-bocah centil nan tengil itu, hahaaa… membayangkan dulu aku juga seperti mereka
dan tanpa rasa berdosa serta malu, cuek aja gitu dengan apa yang dilakukan
walaupun di seberang sana sedang ada yang memperhatikan dengan dahi mengernyit “ckckckck…
anak-anak iniii..”.
Hmmm… kembali mengulang
roll film masa kecilku, selain suka bermain “rumah-rumahan” dulu aku juga suka
bermain masak-masakan. (nggak salah kalau akhirnya aku hobi masak dan makan,
tentunya). Dulu sewaktu kecil bermain masak-masakan tak hanya “getokmen” (pura-pura)
lhoo. Hahahah.. dasar nya bocah sih yaa.. bodo amat gitu dengan asiknya masa
kecil. Main masak-masakan berbekal korek api, wajan kecil (yang biasa dipake buat
bikin batik), minyak tanah-minyak goreng, dan beberapa bahan sayur hasil
menguntit belanjaan ibu, wkwkwkwkw. Dengan sok ala chef handal, aku yang tengil
ini bereksperimen masak sesuka hatinya. Gatau deh itu masakan apa, yang jelas
itu nggak layak dimakan! Hahaha.. tapi alhasil sekarang gue kan bisa masak beneran
doonnkk. #gaya :p
Bro sist, jujur nih
yaa.. bukannya aku mau curhat tentang masa kecilku dulu, bukan maksud membuka
aib-aib masa kecilku dulu jugaa, atau pamer keahlian masakku jaman bocah dulu
#mintaditabok. Hehe, ada hal lain yang ingin kusampaikan sekelebat ketika aku
memperhatikan adik-adik kecil bermain di tengah lapangan itu #senyumperi. Karena
secara naluri sebagai seorang perempuan yang kelak Insya Allah akan menjadi
seorang ibu, wajar donk yaahh seneng sama anak-anak ^3^. Kalo perempuan yang
nggak suka anak-anak #waduuhhh gawat lah itu, perlu dikoreksi tuuuhh hehe
#nooffense :p.
Emm… Bismillah, sodara/i
ku… umur kalian berapa sekarang ? masih 17 tahun ? ( beeeuuhh.. -___-“ ) udah
kepala dua pasti kaann ?? #maksa. Yaa, berapapun umur kalian sekarang pasti
pernah kan mengalami fase-fase masa menggemaskan itu ? (ini bagi yang merasa pernah
menjuarai kompetisi bayi sehat yaa). Hehehe becanda. Memang dulu ketika jaman
kecil kita masih suka seenaknya dalam bersikap. Sebenernya juga tergantung
bagaimana orangtua mengajarkan juga sih, tapi sifat-sifat alamiah anak kecil
pasti tetap muncul di kesehariannya. Iya kaan ? Iya doonng #sukamaksa. Nah,
sadar atau nggak sadar kita sudah membuat kisah atau cerita dari masa itu yang
kemudian bisa kita bawa hingga masa sekarang ini kita telah dewasa.
Kembali teringat
tentang apa yang tadi aku diskusikan dengan gurunda. Manusia itu bertambah umur
beranjak dewasa, tahap demi tahap akan didatangkan urusan dan perihal kehidupan
yang berbeda-beda untuk menapaki setiap fase-fase yang harus dilaluinya. Iya
nggak ?? Contoh nih, jaman masih unyu-unyu belum bisa jalan, untuk urusan perut
dengan masalah kelaparan kita hanya bisa menangis kepada ibu kita. Dan akhirnya
ibu kita memberi kita susu, dan masalah perut pun selesai. Hal itu berulang
terus hingga hari berikutnya, sampai kita bisa benar-benar menggunakan akal dan
fisik kita untuk menyelesaikan sendiri masalah itu. Beranjak tumbuh besar,
seumuran kita TK/SD dihadapkan pada urusan seperti yang diceritakan di atas tadi,
bermain dan berteman. Dalam bermain pun kita di latih untuk saling tawar
menawar dan sepakat-menyepakati. Pun juga setelah itu mencoba untuk saling
beradu potensi, menunjuk dirinya menjadi ibu dalam permainan “rumah-rumahan”
jelas karena dia merasa ingin dan merasa layak berperan sebagai ibu, yang
memilih dirinya menjadi seorang ayah pun demikian. Juga ketika bermain
masak-masakan, jelas ingin dianggap bisa masak oleh teman-temannya walaupun
masak juga awur-awuran, ahaha. Gengsi dan Ego. Hmm…. hal ini yang juga mulai
diajarkan di fase bermain, tanpa bisa kita sadari ketika itu. Maklumm lah yaa
masih bocah.
Oke. BTT.. Back To
Topic dan pliiss ini edisi serius ya! #pasangmukaserius. Hmm… setiap fase
kehidupan yang kita lalui sadar atau tidak sadar adalah proses yang membentuk
makna. Seperti tinta, awal dia hanya membentuk titik di selembar kertas, di
kemudian hari ia membentuk titik lagi, esok nya lagi dia membentuk titik lagi,
terus hingga titik-titik itu membentuk sebuah garis dan mengartikan sesuatu.
Entah itu gambar, atau tulisan. Begitu pula dengan hidup kita, setiap fase kita
mengukir berbagai sejarah dan peristiwa hidup. Masalah datang silih berganti.
Mulai dari perihal A,B,C,D,E,F,G……. hingga Z. Semua itu Allah datangkan bukan
secara cuma-cuma. Ada banyak makna yang bisa dipetik dari setiap apa yang
terjadi dalam hidup kita, baik yang kita pikir itu bukan suatu masalah bagi
kita, bahkan yang kita pikir itu adalah sebuah masalah. Dan setiap masalah yang
datang itu selalu bertingkat kualitasnya. Setiap kita bisa melewati masalah
pertama dan lulus maka kita akan lanjut dengan ujian masalah yang lain yang
bisa jadi kualitas nilainya bertambah. Layaknya ujian sekolah. Kelas satu kita
ujian matematika tentang penambahan dan pengurangan, kelas dua ujian perkalian,
kelas tiga ujian pecahan. Kadar kesulitannya jelas berbeda, jelas soal
perkalian lebih sulit daripada soal penambahan-pengurangan dan soal pecahan
lebih sulit dari perkalian. Ya, seperti itulah masalah. Tetapi dari kesulitan
yang kita temui itu jelas semakin meningkatkan keterampilan dan daya pikir kita.
Bagaimana bisa menyelesaikan soal tersebut dan mendapatkan nilai yang
memuaskan. Dan yang lebih jelas lagi bahwa itu adalah CARA ALLAH MENDEWASAKAN
KITA.
Mungkin yang lebih
konkrit bahwa sebenarnya masalah dalam hidup itu datang setara dengan kualitas
dan kapasitas diri kita. Seperti yang Allah firmankan dalam surat Al Baqarah
ayat 286 bahwa “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya.” Allah sepertinya ingin tahu bagaimana proses kita memaknai
setiap masalah yang datang silih berganti itu. Dari proses memaknai itu lah
kemudian Allah mampu memberikan penilaian terbaik bagi kita. Masalah itu
seperti anak tangga, semakin kita mampu mengatasi dan menyelesaikan
masalah-masalah kita maka kita akan naik satu tingkat, naik satu tingkat lagi,
naik lagi, naik satu tingkat lagi, dan ya, sampailah kita di puncak
keberhasilan. Di puncak itu terkumpul sekeranjang penuh dan besar cerita,
kisah, dan makna yang bisa kita jadikan pelajaran, karena di setiap tingkatnya selalu
terkumpul berbagai makna yang mampu mendewasakan kita. Dan ya, itu adalah CARA
ALLAH MENDEWASAKAN KITA.
Ya, mungkin tidak mudah
untuk kita bisa melalui masalah-masalah itu (enak banget gue ngomong teori nya,
praktek aja belum tau gimana hasilnya). Eiittss… Allah tidak mengajarkan kita
untuk menjadi manusia yang pesimis dan mudah putus asa yaa. Kalau kita termasuk
golongan itu, naudzubillahi mindzaliik... makin banyak donk rasio orang bunuh
diri di negara ini. Astaghfirullah. (gilee ekstrim banget saa!). Ya maka dari
itu, jadilah manusia-manusia yang optimis, kurang apa coba Allah memberi kabar
gembira seperti ini “Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan”
QS. Al Insyirah ayat 5. Nah, Allah sudah menjanjikan hal itu, maka sayang sekali
kalau kita putus asa di tengah jalan. Masih mau mencoba putus asa ??? “Sesungguhnya
bersama kesulitan itu ada kemudahan” QS. Al Insyirah ayat 6. Hayoooloohhh..
Allah saja menyebutnya sampai dua kali. Itu adalah sebuah penegasan bahwa janji
Allah itu benar adanya dan ketika memang kita menemui kesulitan demi kesulitan
Allah sudah memfasilitasi kita dengan ayat tersebut. Bahwa di setiap kesulitan
maka selalu ada kemudahan yaitu jalan keluar, udah disebut hingga dua kali lho.
Bahkan ada ending sebagai pamungkasnya, yaitu di ayat 8 yang kemudian menjadi
ritual wajib setelah kita meyakini dan berusaha dengan janji Allah di ayat 5
dan 6, yaitu “Wa-ilaa rabbika farghab” dan hanya kepada Tuhanmu lah kamu berharap. Sertakan Allah dalam
setiap proses mu, dan serahkan kembalikan masalah dan usahamu itu pula ke
Allah. (Hmmm… subhanallah puaaannjjaaangg yaaahhh)
Nah, terus apa hubungannya dengan bocah-bocah tengil tadi ? hehehe…
atau apa hubungannya dengan roll film masa kecil dulu ?? Hahahaha… yang tak
paham berarti harus bisa mengikuti alur cerita tulisan ini wkwkkwkw. Karena
dalam setiap kata mengandung makna, dalam makna mengandung konsep, dan didalam
konsep itu mengandung pandangan hidup (Hamid Fahmi Zarkasyi, sempat dapat sms
ini hehe :p ). Artinya, di setiap kata yang tulis di sini jelas ada makna nya,
jelas ada alurnya, dan ketika membacanya aku hanya ingin bro n sist bisa sembari
berpikir memaknai #senyumperi.
Yang jelas, aku ingin berterima kasih kepada Allah yang telah
menghadirkan masalah-masalah dari semenjak aku mulai tumbuh dewasa. Mulai dari
masalah anak-anak TK yang berebut mainan dengan teman, masalah anak-anak SD
yang penuh kompetisi dan gengsi, masalah anak-anak SMP-SMA yang beranjak belia,
hingga saat ini masalah yang semakin kompleks dan bertingkat sesuai tingkat
umur dan kapasitas diriku saat ini. Terimakasih juga karena Allah telah menghadirkan
orang-orang yang selalu memberikan makna bagi kehidupanku. Baik mereka yang
sempat mengecewakan dan memberikan kesedihan maupun yang sempat memberikan tawa
dan kebahagiaan. Mereka semua bermakna. Dan kehadiran mereka juga terkadang
menjadi bentuk Allah untuk mengingatkanku, menegurku, dan menasehatiku. Dan dengan begitu aku menjadi sangat mudah untuk mencintai mereka,
mencintai mereka karena Allah. :’)
Akhir kata… Kita bukan lagi anak kecil yang masih bisa asik bermain,
cuek, dan seenaknya sendiri. Kita adalah kita saat ini. Kita saat ini tahu
bagaimana menyelesaikan setiap masalah dalam hidup yang kompleks ini. Cara
berpikir kita sudah terolah sedari kecil maka sudah menjadi keharusan bagi kita
untuk lebih bijak dan adil terhadap hidup. Yang paham bagaimana kita
menyelesaikan masalah-masalah kita adalah diri kita sendiri, tapi tetap
sertakan Allah disana. Karena IA sebaik-baik pemberi jalan keluar dan
kepastian.
Dan itulah Universitas Kehidupan. Bukan hanya soal IPK. Tapi kita
diminta untuk belajar. Belajar memaknai kehidupan, memaknai permasalahan. S.I.S, Sabar... Ikhlas... dan Syukur, kepada Allah semata. Sehingga kita tahu bahwa itu lah CARA ALLAH MENDEWASAKAN KITA.
~Terimakasih untuk adik-adik yang secara tidak langsung telah menegurku hari ini. J Bermain lah selagi kamu bisa asik bermain, sembari
mempersiapkan diri untuk melewati berbagai onak di jenjang universitas kehidupan
selanjutnya.~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar