Betapa hari-hari yang kita lalui
begitu luar biasa, tanpa kita sadari ia memberikan banyak makna dalam tujuan
hidup kita. Seperti hari ini, berkumpul dengan mereka yang hatinya diliputi
kecintaan yang luar biasa kepada Rabb nya. Seperti hari ini dimana jiwa-jiwa
yang mengharap ridho-Nya berkumpul dalam sebuah majelis kecil yang mencoba
membangun asa dan cita menuju syurga. “Jangan remehkan forum kecil,…” kata sang
guru, “terkadang kita meremehkan forum-forum kecil padahal bisa jadi dari sana
tersembunyi energi dan ilmu luar biasa.” lanjut beliau. Ya, meski hanya
dihadiri oleh tim training JAN namun inilah sekolah JAN yang sesungguhnya,
yaitu dimana seluruh orang-orang yang tergabung di dalamnya merasakan forum dan
aktivitas-aktivitas ini sebagai kebutuhan.
Hari ini, seperti hari jumat
biasanya, kami (tim JAN) selalu mengadakan sekolah JAN untuk berbagai bidang
dan hari ini adalah jatah kami para trainer JAN untuk berbagi ilmu. “Bahagia
Menjadi Trainer” itulah tema yang kami usung. Awalnya kami disuguhi oleh 4
pertanyaan utama,
1.
Apa yang membuatmu tertarik dengan training ?
2.
Apa yang membuatmu bahagia selama
berlangsungnya proses training ?
3.
Apa yang membuatmu senang dengan training ?
4.
Dan apa yang dibutuhkan olehmu untuk
memperbaiki proses training ?
Beragam jawaban dengan
berbagai ekspresi kami lemparkan dan diskusikan. “saya merasa tertarik ketika
pernah suatu ketika diajak teman mengikuti sebuah training dan merasakan ada
hal yang berbeda.” , “saya merasa tertarik karna dalam training selalu
memberikan motivasi-motivasi.” , “saya merasa bahagia ketika mampu berinteraksi
dengan orang-orang baru dan memahami karakter mereka.” , “saya merasa butuh
dalam training ketika bisa berkumpul dengan orang-orang yang memiliki mimpi
yang sama dan memiliki mentor dibidang yang sama untuk mencapai impian itu.” , “saya
merasa bahagia ketika kemudian mendapat apresiasi yang baik dari peserta. Misalnya,
mereka berterimakasih karena materi yang disampaikan begitu membekas.”
A.P.R.E.S.I.A.S.I (?)
Apresiasi atau
katakanlah sebuah penghargaan. Bermacam-macam memang bentuknya. Namun apakah
kemudian itu yang menjadi hasil atas kepuasan aktivitas kita ? Banyak memang fenomena yang
memperlihatkan begitu di apresiasinya seorang trainer, seorang ustadz/ustadzah,
seorang motivator, seorang penulis buku, seorang yang mengisi majelis-majelis
ta’lim kesana kemari, seorang dan seorang lainnya yang mungkin memang memiliki “tempat”
di hati para penyanjungnya. Ahh… apresiasi bisa jadi menipu kita. Maka, epilog
sang guru pun menutup proses aktivitas hari ini. Dan lagi-lagi hati kami merasa
tercabik mendengar dan merenungkannya.
“Di
puja-puji oleh orang atau di apresiasi oleh orang itu BUKANLAH KEMULIAAN.
Kecuali kita memang tahu dan benar-benar mengamalkan apa yang kita ketahui.” begitu
tegas beliau sampaikan dan penuh dengan aksen.
“Maa
amilta fii maa alimta,…” tambahnya menekankan. “Apa yang telah
engkau amalkan dari apa yang kau ketahui (?)” jelasnya.
Seketika hati
terperanjat. “Sia-sia
jika seorang trainer atau seorang da’i bangga dengan apa yang dia bicarakan
namun tiada ia mengamalkan. Itu munafiq.” . Rasanya darah ini
berdesir kencang, seolah air menghujani hati ini begitu deras. Rabb…
Astaghfirullah. Seketika suasana majelis itu menjadi hening, seolah semua terperangah
dalam diam dan mencoba merenungi dalam diri. Kami dengan seksama mencoba
menghayati apa yang menjadi epilog sang guru sepulangnya mengisi suatu forum di
luar kota dan beliau sempatkan bertandang menemani kami, yang masih dengan
bangga berbagi pengalaman aktivitas kami selama ini. Bangga (?) Ahh… begitu
hinanya tanpa kita sadari.
Apalah arti apresiasi ?
Jabatan ? Posisi ? Yang selama ini dengan bangga dan senang hati kita rasakan
keberadaannya menyelimuti aktivitas-aktivitas ini. Puja-puji orang-orang di
sekitar kita, layakkah bersandar dalam diri kita ? Layakkah kita banggakan ?
Layakkah menjadi kepuasan ? Layakkah ia menjadi modal kita menuju syurga-Nya
??? TIDAK.
Seorang trainer,
seorang da’i dengan seluruh aktivitasnya apakah tak melihat bahwa itulah yang
sedikit demi sedikit menggerogoti amalan-amalan hatinya ? Rabb… diri ini masih
begitu hina. Ilmu yang selama ini kita dapat hanyalah secuil bekal bagi kita
untuk membeli tiket masuk ke syurga-Nya. Bagaimana dengan amalannya ? Bagaimana
dengan hatinya ? Dimana kita meletakan IA dalam setiap aktivitas kita ? Dan
hari ini, hati begitu tercabik, perih.
“Sebelum engkau selesai
menyelesaikan urusan orang lain, maka selesaikan dahulu dirimu.” Setidaknya itu
lah poin yang dapat diambil. Ketika kita mampu berbicara di depan banyak orang
dengan penuh kemantapan, pertanyaannya adalah “apakah engkau juga mengamalkan
apa yang kau bicarakan?” Sekali lagi hati tercabik. Lalu pantaskah sebuah
apresiasi bersandar dalam dalam diri ? Di elu-elu kan di hadapan banyak orang,
disinggung namanya setiap hari, dibanggakan kehadirannya, dan kita dengan
senang hati menikmati semua itu. Lalu dimanakah kita meletakkan IA dalam setiap
aktivitas-aktivitas kita ? Sementara kita pun belum selesai mengamalkannya
dalam keluarga kita. Di saat kita sibuk menghadiri forum-forum yang dihadiri
puluhan bahkan ratusan orang, dikala diri serius menyiapkan materi untuk
mengisi kajian-kajian, ketika tak henti kita mendatangi kota demi kota untuk
menyampaikan setiap apa yang ingin kita sampaikan dihadapan banyak orang, apakah
semua itu kita lakukan pula dalam keluarga kita ? Ayah, ibu, kakak, adik,
suami, istri, anak ??
“Quu anfusakum wa ahlikum
naaro.” pungkas beliau.
Tak terasa air mata
membasahi pipi. Merasakan butir-butir air tersedu membasahi ujung kelopak mata.
Hati kami menangis, jiwa kami menangis, kami terdiam, dan ini teguran. Bahkan
urusan mengantarkan kebaikan kepada keluarga pun masih dipertanyakan. Rabb…
kami sadari jalan kami masih jauh, jauuuhhhh sekali untuk mencapainya (syurga).
Bahkan hati kami masih seringkali terkotori, terkotori sendiri oleh amalan hati
kami. Bahkan keikhlasan semata hanya untuk mengharap ridho-Mu dalam setiap
aktivitas kami pun terselimuti oleh sanjungan, pujian, dan berbagai apresiasi
duniawi. Lalu bagaimana apresiasi-Mu terhadap kami ? *Air mata semakin tak
tertahankan, dan kami masih terdiam dalam refleksi dan renungan* Sementara
Rasulullah di masa awalnya mensyiarkan islam, beliau sampaikan kepada mereka
yang terdekat, keluarganya, bunda Khadijah. Lalu bagaimana dengan kita. Apakah
kita telah selesai dengan diri kita masing-masing ? Apakah kita telah
benar-benar mengamalkan apa yang sudah kita ketahui ?
Apresiasi, jabatan,
posisi duniawi samasekali takkan bernilai jika kemudian ia melemahkan sikap dan
keyakinan penghambaan kita kepada-Nya, semata kepada-Nya. Maka dimanakah letak
ikhlas kita ? Sungguh, kita ini masih hina dimata-Nya. Masih sangat kecil
dihadapan-Nya. Dibandingkan mata dan hadapan makhluknya, kita masih belum
apa-apa. Syurga masih jauh. Syurga yang didalamnya penuh kenikmatan hakiki
masih jauh dari rengkuhan tangan kita. Jauuuhhh. Rabb… masih jauh sekali, jauh.
Maka apakah apresiasi makhluk-Mu adalah bentuk kemuliaan ? BUKAN. Kemuliaan itu
hanya kami dapat dari-Mu. Sungguh diri kami masih jauh dari baik, masih panjang
perjalanan kami, masih banyak yang harus kami renovasi. Hati kami, jiwa kami,
amalan kami, ilmu kami, jauhh… Jauh sekali.
“Rabb, jauh keikhlasan kami dari
kesempurnaan, jauh upaya kamu dari kesungguhan, masih hina diri ini dalam
setiap amalan, begitu panjang perjalanan kami untuk merengkuhnya (syurga).
Bantu perbaiki kami dalam setiap aktivitas kami, pujian, sanjungan, apresiasi
makhluk-Mu bukanlah perantara kami mencapai cinta dan ridho-Mu. Kami hanyalah
manusia kecil yang berupaya, dan masih terus berupaya mencapai kecintaan-Mu.
Masih berupaya semata hanya karena-Mu. Maka perbaikilah kami, jagalah kami dan
keluarga kami untuk menyongsong kemuliaan yang hakiki, yaitu kemuliaan dari-Mu.
Bukan kemuliaan makhluk-Mu.”
Apresiasi, jabatan dan posisi itu
tak berarti, jika ia melemahkan sikap dan keyakinan penghambaan kita
kepada-Nya.~
Berilmu lah dan beramal
lah dengan penuh keikhlasan (semata karena Allah). Lillah, Fillah, Billah.
Waallahu’alam bishowab,
sesungguhnya lisan hanyalah perantara untuk menyampaikan, tulisan adalah
perantara untuk mengingatkan, sementara kebenaran tetap milik-Nya. Milik-Nya.
*dan
ini lah epilog yang luar biasa dari forum KECIL yang luar biasa*