Sejatinya,
perkara cinta bukan sekedar perihal rasa, tapi juga perihal masa depan.
Apakah
ia akan kau bawa untuk kesenangan duniawimu saja atau, ia yang akan
menghantarmu untuk kebutuhan hakikimu kelak ?
Perkara
ini bisa salah kaprah jika kita tak memiliki dan tak mau mengetahui apa yang
seharusnya kita pahami dan telah termuat dalam pesan-pesan cinta Rabb semesta
alam.
Dalam
suatu buku yang pernah saya baca, bahkan seorang ulama Indonesia, Buya Hamka
memberikan warisan nasehat untuk kita, kita insan manusia yang diberikan fitrah
semestinya.
Kata
beliau, “Cinta itu adalah perasaan yang mesti ada tiap-tiap diri manusia, ia
laksana setitis embun yang turun dari langit, bersih dan suci, cuma tanahnya
lah yang berlainan menerimanya. Jika ia jatuh ke tanah yang tandus maka
tumbuhlah oleh karena embun itu kedurjanaan, kedustaan, penipuan, langkah
serong dan lain-lain perangai yang tercela. Tetapi kalau ia jatuh ke tanah yang
subur, maka di sana akan tumbuh kesucian hati, keikhlasan, setia, budipekerti
yang tinggi dan lain-lain perangai yang terpuji.”
Apa
maksud nasehat ini ? Bahwa cinta adalah fitrah manusia, hanya saja apakah
fitrah itu memiliki penerimaan yang baik atau tidak, dengan pemahaman yang baik
atau tidak, dan itu lah perumpaan hati dan akal sebagai tanah yang subur atau
tandus.
Tanyakan
pada hati dan lihat perangai diri. Apakah ketika merasakan hal ini penerimaan
kita telah bijak ? Apakah ketika hati menyeruak pada satu nama kemudian sikap
di dasari pemahaman yang baik ? Dan apakah sikap itu semata ditujukan hanya
untuk menjaga cintaNYA ?
Cinta
diatas segala cinta. Yang memiliki cinta dan yang menciptakan cinta,
satu-satunya yang berhak dan memiliki hak tertinggi untuk mendapatkan cinta
kita.
Berusaha
untuk tidak menjadi tanah yang tandus adalah sebuah langkah yang seharusnya.
Karena, sadarkah bahwa apa yang menjadi sikap kita dalam menanggapi cinta kelak
akan berdampak pula pada kehidupan kita ? sadarkah bahwa hati dan sikap ketika
tak di jaga maka perlahan ridho dan keberkahan dari perasaan cinta itu sendiri
akan musnah ? hangus terbakar habis oleh hawa nafsu kita.
Ahhh..
siapa yang mau ? Semua manusia, sejatinya ingin mensucikan rasa cintanya. Menjadikannya
sebagai sebuah berlian yang dikemas rapi dalam kotak dan dipersembahkan hanya
kepada orang yang berhak yang telah menjadi ketetapanNYA.
Jangan
mudah menyatakan cinta jika belum bisa mempertanggunjawabkannya.
Pengharapan.
Sejatinya,
harapan adalah doa.
Apakah
ia, harapan yang merupakan doa itu kita tujukan kepada sesama manusia ? Bisa
apa manusia ketika kita ingin membelah bumi ini, apakah kemudian manusia mampu
? Tidak. Tentu saja tidak. Maka dimanakah sepantasnya kita menaruh harapan itu
?
Jika
kemudian kita meminta manusia untuk membelah bumi ini, namun ternyata ia tak
bisa melakukannya, lalu apa sikap kita ? Kecewa.
Karena
segala yang pasti itu hanya milikNYA. Karena semuanya telah tertulis rapi dalam
Mega Lauh Mahfuz NYA. Kita ?
Kita
hanya aktor yang senantiasa menikmati dan menanggapi setiap dinamika hidup
dalam koridor kecintaanNYA. Yang diminta untuk senantiasa berpikir,
bekerja untukNYA, dan menunjukkan wujud cinta padaNYA.
Mungkin
ini terlihat sebatas retorika mulut kepada hati, Tapi, pemahaman inilah
kekuatannya. Bahwa kekuatan seseorang itu terletak pada kesabarannya. ( bisa
lihat QS. Al Anfal 65 )
Sabar,
sabar dan ikhlas dengan apapun bentuk ketetapannya. Apapun.
Maka,
apakah kini sudah paham dimana seharusnya kita meletakkan harapan itu ?
Bisa
jadi ketika kita menyampaikan harapan kita kepada satu nama manusia, ternyata
ketika kita berada jauh di luar sana kita menemukan manusia yang lebih baik
dari nama itu dan kemantapan itu tertuju padanya, apa yang bisa kau pertanggungjawabkan
?
Manusia,
sejatinya tiada kepastian kecuali ketidakpastian itu sendiri. Karena segala
kepastian hanya IA yang tahu.
Jangan
mudah memberi dan menaruh harap (pada manusia) jika diri belum siap.
Melepas.
Sejatinya,
melepas adalah perkara keikhlasan.
Keikhlasan
hati untuk diurus olehNYA perihal cinta dan harapan.
Keikhlasan
itu bentuk sikap paling bijak setelah kesabaran, dalam keikhlasan terdapat
sebuah keyakinan akan keberadaanNYA dalam setiap langkah dan keputusan kita.
Maka,
ketika kita telah paham seperti apa tanah yang subur itu… semestinya kita mampu
melepas cinta dan harapan dari satu nama yang belum pasti untuk kita.
Lepaskanlah…
Ikhlaskan…
bahwa semua akan ada masanya. Bahwa hati akan berlabuh pada yang semestinya,
yang diberikan Allah untuk menghantarkan kita pada kehidupan yang hakiki. Kenikmatan
syurga.
Tugas
kita saat ini hanyalah senantiasa memperbaiki diri, koreksi kembali niat dan
hati kita, apakah kerja-kerja di dunia ini semata untuk menjaga cintaNYA dan
mendapat ridhoNYA ?
Kita
menginginkan keberkahan masa depan bukan ? Maka jadilah tanah yang subur itu… J
*saya
tidak pernah merasa canggung menulis topik ini. Mungkin orang di luar sana akan
berkomentar bahwa ini bentuk kegalauan, tak apa, asal kemudian kegalauan itu memiliki follow up yang meaningful. Agar kita bisa kembali berfikir dan
kembali pada jalur yang seharusnya. Maka beruntunglah bagi orang-orang yang mau
berfikir dan memahami. J Selamat memperbaiki diri (ngomong sama
cermin).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar