|
ilustrasi : nabilahamierah.blogspot.com |
Alhamdulillah…
Alhamdulillah ‘ala kulli hal..
Orang yang bersyukur, ketika bangun
tidur yang ia rasakan pertama kali adalah karunia dan kenikmatan yang luar
biasa dari Allah Yang Maha Pengasih. Maka tak salah jika kenyataannya doa bangun
tidur kata yang terucap pertama kali adalah “Alhamdulillah, (Segala Puji Bagi
Allah).” Itulah ungkapan kenikmatan yang bisa kita rasakan setiap pagi, setiap
hari, karena kita masih dihidupkan kembali setelah mati menyelami alam tidur.
Meski ketika bangun pagi kita harus segera bersiap melakoni segala aktivitas
padat seharian, tetapi jika syukur ini benar-benar kita nikmati maka segala
yang terlihat padat pun akan terasa lapaaaanngg untuk dijalani. Bukan begitu? Lets
try deh.
Begitu pula yang aku rasakan
seminggu terakhir ini. Syukur kali ini terasa berbeda, ada suasana lapang yang
begitu merangkul setiap kali mata terbuka dan fikiran menguntai ke jadwal
harian yang musti dilakoni. Ya, pada akhirnya kondisi kembali normal. Setelah
hampir 4 bulan luntang-luntung tak jelas, hidup seperti kehilangan orientasi,
segala bentuk keinginan kesana kemari, dan Allah mulai bukakan pintu untuk
kembali mengasah diri dan potensi lewat berbagai aktivitas. Bukan, bukan
berarti hampir 4 bulan itu tak ada aktivitas sedikitpun, hanya saja selama itu
ke-selo-an lebih sering terjadi dibanding masa sebelumnya. Kondisi seperti itu
memang wajar di alami mahasiswa-mahasiswa masa transisi setelah resmi
menyandang status sarjana. Beruntungnya ke-selo-an itu tak terbuang sia-sia,
banyak forum diskusi dan ajang silaturahim kesana kemari hanya sekedar untuk
me-recharge diri. Alhamdulillah. Semoga mahasiswa masa transisi yang lain pun
demikian.
Mungkin, kondisi transisi ini banyak
yang menjalaninya dengan perasaan tidak nyaman, tidak biasa, “njegleg”, bahkan
parahnya galau berujung depresi karena banyak tekanan di sana sini. Dulu di
kampus mungkin memang seringnya jadi “Kura-Kura”
kuliah-rapat-kuliah-rapat, atau jadi “Mansyur”,
Manusia Syuro, kemana-mana yang dibawa buku agenda isinya catatan semua jadwal
rapat difakultas A, fakultas B, taman A, taman B, masjid A, masjid B dan
sekawan-kawannya. Atau biasanya jadi EO (event
organizer), ngurus acara A, B, C, D dan seterusnya, dan yang dilakoni tiap
hari mondar-mandir dari satu kampus ke kampus yang lain dengan mobilitas yang
sangat tinggi. Atau jadi inisiator dari gerakan perubahan (#ups nggak maksud
kampanye!), kerjanya jalin relasi ke alumni A, B, C, begadang rancang konsep
dan menjadi aktor utama untuk mengeksekusi rencana gerakan. Yaa… pada akhirnya
aku akui bahwa berbagai hal itu memang sungguh-sungguh terjadi. (dan aku salah
satu diantaranya #ppffttt). Well, semua patut disyukuri, karena hasilnya pun
akan kita nikmati. Mungkin sekarang, ketika kita terjun di dunia kerja semua
hal di atas benar-benar memiliki andil besar dalam proses kita mencoba untuk
mengepakkan sayap kita sendiri. Alhamdulillah.
Masa transisi pun datang ketika toga
sudah bertandang di kepala. Dan akhirnya pun kita menyadari bahwa masa transisi
ini adalah proses kita untuk lebih adaptif dan optimis di dunia yang jauh lebih
berbeda dari masa sebelumnya. Dan kesertaan rasa syukur dalam setiap proses
dari setiap masa nya adalah hal yang patut untuk benar-benar dimaknai. Syukur
akan menjadikan diri kita lebih lapang untuk menerima segala perbedaan kondisi
dua masa yang kita jalani dan rutinitas yang menghampiri. “Syukur”, agar kita
mampu menyelami dan memaknai perasaan-perasaan syukur yang diakibatkan dari
kondisi lingkungan serta aktivitas keseharian kita, maka ini lah bahasan syukur
dari sisi bahasa dan istilah.
Saya mendapat bahasan syukur dari
kawan saya yang memang cukup memiliki pemahaman bahasa arab yang baik. Katanya,
dari ilmu yang ia dapat, Syukur adalah mashdar dari kata kerja “syakara-yasykuru-syukran-wa
syukuran-wa syukranan.” Dalam Al Qur’an kata syukur dengan berbagai bentuknya
ditemukan sebanyak 64 kali, selain kata syukur ditemukan juga kata syakur. Al
Ghazali mengartikan syakur sebagai sifat Allah, bahwa Dia yang memberi balasan
banyak terhadap pelaku kebaikan atau ketaatan yang sedikit; Dia menganugerahkan
kenikmatan yang tidak terbatas waktunya untuk amalan-amalan yang terhitung
dengan hari-hari tertentu yang terbatas. Al Qur’an juga secara tegas menyatakan
bahwa manfaat syukur itu kembali pada orang yang bersyukur, sedang Allah sama
sekali tidak memperoleh bahkan tidak membutuhkan sedikit pun syukur
makhluk-Nya. (QS. An Naml:40)
Allah menyatakan diri-Nya sebagai
Syakirun ‘Alim (QS Al Baqarah:158) dan Syakiran ‘Alima (QS. An Nisa’:147),
keduanya berarti “Maha Bersyukur lagi Maha Mengetahui”. Kapasitas makna syakur
seorang manusia berbeda dengan sifat yang disandang Allah tersebut. Manusia
yang bersyukur kepada manusia/makhluk lain adalah dia yang memuji kebaikan
serta membalasnya dengan sesuatu yang lebih baik dari apa yang disyukurinya
itu. (Saba:13, Quraish Shihab). Maka, syukur dan kata-kata yang seakar
dengannya di dalam Al Qur’an meliputi makna “pujian atas kebaikan”, “ucapan
terimakasih” atau “menampakkan nikmat Allah ke permukaan.” Syukur itu sendiri
mencakup syukur dengan hati, syukur dengan lidah, dan syukur dengan perbuatan.
Syukur dengan hati, syukur dengan
lidah dan syukur dengan perbuatan adalah cara bagaimana kita menampakkan bahwa
kita telah merasakan kenikmatan dari Allah SWT. Akibat dari rasa syukur pun
ikut menyertai kita ketika hati pun menyakini, lidah menyampaikan, dan
perbuatan membuktikan. Jika kita berada pada masa transisi mahasiswa maka
akibat nya adalah hati menjadi kian optimis, fikiran menjadi semakin positif,
semakin mudah untuk menerima dan semakin ringan untuk memberi. Begitu pula
dengan lidah, tak lagi kelu dan ragu menyampaikan segala hikmah dalam setiap
kondisi yang dialami karena rasa syukur telah teryakini oleh hati. Laku dan
tindakan pun menjadikan diri tak mudah serakah dan senantiasa peka terhadap
kondisi lingkungan sekitar yang akhirnya menjadikan kita memiliki empati. Simpul
dari keseluruhan tersebut pada akhirnya berujung pada sikap TOTALITAS. Di mana
pun kita beraktivitas, apapun aktivitas kita, seperti apa kondisi lingkungan
aktivitas kita yang berbeda kondisinya dengan masa sebelumnya dan sikap kita
menanggapi semua hal itu, rasa syukur akan membuat kita menjadi nyaman (karena
hati lapang) dan totalitas (karena paham syukur adalah perbuatan).
Dan pada kenyataanya syukur itu
nikmat sekali ketika kita mampu merasakannya, meski kita menghadapi segala
kondisi yang jauh berbeda. Syukur, pada akhirnya mengantarkan kita pada
keyakinan bahwa “Life will never be the
same, a different life than the one we’ve had” (cuplikan lirik Nadiya
Fatira-New World), tapi kita dengan lapangnya menerima bahkan menjalaninya
penuh totalitas, meski padat, “ajeg”, dan hectic sekalipun.
Alhamdulillah. Pada akhirnya selesai
juga tulisan syukur yang berawal dari gejolak perasaan seminggu terakhir ini.
Mungkin ini lah refleksi dari rutinitas yang tengah dijalani saat ini. Semoga
yang sedikit dan sederhana ini mampu mengajak yang lain untuk senantiasa
bersyukur dan menyelami rasa syukur itu dengan sebaik-baik pemahaman dan sikap.
Karena rasa syukur lah yang menjaga kita
untuk tetap melakukan amalan-amalan baik dalam setiap kondisi apapun. Wa’allahu
‘a’lam bishowab.
Syukur adalah sikap menjaga
diri untuk tetap dalam kebaikan dan menjauh dari kemaksiatan. Syukur menjadikan
apapun sebagai kesempatan untuk melakukan amal yang lebih baik.~
Ustadz Syatori Abdurro’uf.
Referensi :
Majalah "Tarbawi edisi Januari 2013", halamannya lupa nggak di catet -_-"
Kajian Jelajah Hati, Ustadz Syatori Abdurro'uf
Share ilmu dari sahabat (JZ) tentang "Makna Syukur dalam Bahasa Arab".