Entah,
sejak kapan aku mulai menyukai menulis. Aku sama sekali tak ingat, kapan aku
mulai menikmati jari-jemari menari di atas keyboard laptop ku. Seharian,
semalaman, menikmati untaian kata yang muncul begitu saja dalam pikiran dan
juga hatiku. Menghabiskan waktu membuka akun blog dan merangkai kata-kata
menjadi perpaduan kalimat yang terkadang aku sendiri heran. Heran, mengapa aku
bisa menulisnya ? Kadang aku tertawa, tertawa geli menertawakan tulisan
sendiri. Kadang aku tersenyum, tersenyum menikmati untaian kata yang terkadang
mengingatkanku pada suatu hal ketika aku membacanya. Kadang pula aku menangis,
menangis karena aku mampu mengambil hikmah dari setiap apa yang kutulis.
Entah,
sejak kapan aku mulai menikmati menulis. Aku merasa menjadi diriku sendiri. Aku
seolah tengah bercermin. Setiap kalimat yang aku tulis, ya, itulah aku. Aku
merasa bahagia ketika aku menjadi diri sendiri melalui tulisan-tulisanku.
Tulisan-tulisan itu memang membuatku bercermin, dan mengatakan “ini adalah
kamu. Inilah pikiranmu. Inilah hatimu.” Lalu apa ? Ya, aku menjadi diriku
sendiri. Aku mampu mencurahkan semua yang menjadi perasaan dalam hati, aku
mampu mencurahkan semua yang menjadi kegelisahan dalam pikir. Ketika aku
menyadari bahwa tulisan ini mewakili hati, mungkin kemudian akan terlihat
melankolis, puitis, dan dramatis. Aahh, memang terkadang hati sulit
dikendalikan karena ia penuh dengan emosi. Namun ketika aku menyadari bahwa aku
pun menulis dengan logis, itu lah pikiranku. Mereka saling melengkapi, walau
kadang bertentangan. Ya, mereka saling melengkapi.
Entah,
mungkin aku menulis sesuka hati dan pikiranku. Hanya saja menulis adalah salah
satu caraku mencerna kehidupan ini.
Sadarkah,
terkadang jari jemari kita dengan lunglai menari di atas keyboard atau pena
karena mengikuti arus perasaan kita ? perasaan yang terkadang rumit untuk kita
jelaskan sendiri. Ketika kita mulai menulisnya, maka saat itu pula kita
merencanakan untuk memahaminya. Di hari selanjutnya kemudian kita kembali
membacanya, perlahan berusaha memaknainya, kemudian kita tersadar bahwa kita akhirnya
memahami perasaan yang kita mengira ia begitu rumit. Ya, menulis seolah menjadi
museum. Yang ketika kita menulisnya di masa lalu karena mengikuti arus perasaan
kita, di masa depan kita teringat bahwa kita pernah merasakan diri kita seperti
yang dijelaskan oleh tulisan-tulisan itu. Ya itulah dirimu.
Sadarkah,
terkadang jari jemari kita dengan lunglai menari di atas keyboard atau pena
karena mengikuti arus pikir kita ? pikiran yang terkadang sulit untuk kita
jelaskan sendiri. Ketika mulai menulisnya maka saat itu pula kita merencanakan
untuk menjelaskannya. Di hari selanjutnya kemudian kita kembali membacanya,
peralahan berusaha memaknainya, kemudian kita tersadar bahwa kita akhirnya
mampu menjelaskan pikiran kita sendiri. Ya, menulis seolah menjadi cermin. Yang
ketika kita menulisnya di sana pula kita mampu menjelaskan diri kita sendiri.
Seperti cermin yang ketika bercermin di hadapan kaca bening kita mampu melihat,
ya itu diri kita.
Betapa
banyak hikmah yang kemudian bisa kita ambil untuk sekedar memaknai kehidupan.
Hati dan pikiran bekerjasama untuk melakukan hal itu. Melengkapi satu sama lain
agar kita tak terjerumus hanya karena mengikuti arus emosi perasaan kita, agar
kita tak terjerumus hanya karena mengikuti arus pikiran kita yang telah banyak
terkontaminasi pikiran dunia. Dan dengan menulis kita menyatu padukan keduanya.
Membuatnya menjadi lebih bermakna. Membuatnya menjadi rujukan bagi kita,
rujukan atas diri kita sendiri.
Akhir-akhir
ini aku merasa menjadi pendiam. Merasa ini bukan aku. Yang penuh dengan
ekspresi dan kehebohan. Ahhh tapi menjadi pendiam itu juga ekspresi. Tapi tetap
saja, itu bukan aku. Yang ketika bertemu banyak hal dengan penuh ekspresi aku
menjelaskannya. Dan saat aku menulis di tengah kediamanku, ada sesuatu yang
tersadari bahwa aku memang tak mudah untuk menjelaskan suatu emosi yang
dirasakan serta kegelisahan yang dipikirkan melalui kata. Bahkan ketika menulis
bisa membuat tangis tersedu-sedu, tapi ketika mencoba menyampaikannya dengan
rangkaian kata jarang aku mengambil tisyu dan mengusap tangis di hadapan orang
yang mencoba mendengarku.
Itulah
ajaibnya ketika aku menikmati menulis. Dia mampu mengeluarkan apa yang ada
dalam diriku. Dia mampu mengeluarkan siapa sesungguhnya aku. Dia seolah
memiliki kekuatan super yang mendesakku untuk selalu bersikap jujur. Jujur atas
diri sendiri. Jujur kepada diri sendiri.
Entah,
sejak kapan aku menyukai menulis. Kekuatan-kekuatan tersembunyi di dalamnya,
yang kemudian aku menikmatinya. Diri yang melankolis, diri yang penuh
pertentangan, diri yang tengah lemah, diri yang tengah ceria, diri yang tengah
bersemangat, diri yang menyimpan banyak kenangan, diri yang memiliki
kegelisahan pikiran, diri yang mencoba kritis, diri yang berusaha bangkit, aku
menikmatinya. Menulis seolah menjadi salah satu sarana untuk mengadu banyak hal
padaNYA. Aku berbagi denganNYA namun aku juga menuliskannya, karena aku yakin
suatu saat aku membutuhkannya untuk mengingatkanku. Tulisan-tulisan ini
kemudian akan merekam semuanya, semua tentang perjalanan pikirku ……… dan
perjalanan rasaku.
~Menulis
membuatku mengalir begitu saja, menumpahkan segala asa dan rasa atas logika dan
nuraniku untuk menjadi seseorang yang jujur~
Aahh…
aku terlalu melankolis akhir-akhir ini :-p